Jangan Samakan Mahasiswa Timor Leste dengan Mahasiswa Lokal!

Pada tahun 1999, Timor Timur berpisah dari NKRI dan menjadi sebuah wilayah di bawah kendali PBB. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur resmi menjadi sebuah negara dengan nama "Republik Demokratik Timor Leste". Pada masa integrasi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia, banyak putra-putri asli Timor Timur yang melanjutkan kuliah di luar provinsi Timor Timur. Beberapa kota yang menjadi pilihan favorit untuk melanjutkan studi mereka adalah Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Hingga hari ini Indonesia masih menjadi negara yang paling difavoritkan sebagai pilihan studi mahasiswa Timor Leste.

Wakil Menteri Ekonomi dan Pembangunan Timor Leste Rui Manuel Hanjam pernah berkunjung ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta pada tahun 2008 dalam rangka melakukan penjajakan kemungkinan kerja sama bilateral dalam hal pendidikan. Dalam kunjungan tersebut, Rui Hanjam meminta dua permintaan yang tidak pantas disetujui oleh pihak UGM. Yang pertama, ia meminta diberikannya jatah khusus untuk mahasiswa Timor Leste yang ingin menempuh studi di UGM. Permintaan yang kedua lebih gila dari yang pertama, ia meminta biaya kuliah mahasiswa Timor Leste disamakan dengan mahasiswa lokal, tidak disamakan dengan mahasiswa asing. Menurut Rui Manuel Hanjam, Indonesia harus memerlakukan Timor Leste seperti "adik kandung"-nya.

Rui Manuel Hanjam (sebelah kiri) ketika bersama seorang wakil dari Uni Eropa

Universitas Muhammadiyah Malang juga merupakan salah satu universitas favorit para mahasiswa asal Timor Leste. Berdasarkan hasil studi lapangan salah seorang mahasiswa yang tergabung dalam program ACICIS (Australian Consortium for Indonesian In Country Study), salah seorang mahasiswa Timor Leste yang menjadi narasumbernya mengaku bahwa biaya kuliah yang dikenakan kepadanya sama dengan mahasiswa Indonesia. Hal ini tentu dapat menimbulkan rasa iri mahasiswa asing lainnya terhadap mahasiswa asal Timor Leste. Atas dasar apa mereka dikenakan biaya yang sama dengan mahasiswa lokal? Padahal dalam wawancara tersebut, pada saat ditanya mengenai pengalaman mereka pada masa integrasi, salah satu dari antara mahasiswa yang menjadi narasumber pernah melakukan demonstrasi menentang pemerintah Indonesia dan dipenjara, salah seorang lainnya juga bercerita pernah ikut lari ke hutan bersama orangtuanya karena orangtuanya menjadi buronan karena keterlibatannya dengan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan, sebutan untuk FRETILIN maupun CNRT).

Mari kembali kepada dua permintaan Wakil Menteri Ekonomi dan Pembangunan Timor Leste Rui Manuel Hanjam. Permintaan yang pertama tidak pantas disetujui karena mahasiswa lokal harus lebih diutamakan daripada mahasiswa asing. Masih ada banyak mahasiswa asal NTT, Maluku, dan Papua yang notabene daerah asal mereka masih banyak yang tertinggal yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas negeri yang bergengsi. Mereka ini yang seharusnya dibantu dengan diberi jatah khusus sehingga pada saat lulus mereka dapat kembali dan membangun daerah asal mereka. Kemudian masih banyak pelajar keturunan Tionghoa yang berstatus WNI yang mengeluhkan sulitnya untuk bisa masuk ke dalam universitas-universitas negeri. Menurut mereka masih ada unsur rasisme dalam universitas-universitas negeri. Jika WNI keturunan Tionghoa saja susah untuk masuk, mengapa para mahasiswa asing asal Timor Leste dipermudah? Bukankah ada banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa yang sudah berjasa bagi negeri ini?

Mengenai permintaan kedua, orang-orang Timor Timur yang memilih merdeka dan menjadi warga negara Timor Leste seharusnya sadar akan risiko mereka. Jika mereka memilih menjadi warga negara Timor Leste, maka sudah menjadi risiko yang mereka hadapi jika mereka diperlakukan sebagai mahasiswa asing. Apa yang dilakukan oleh Rui Manuel Hanjam justru memermalukan negara mereka sendiri dan ia dapat dicap "bagaikan anjing yang menjilat ludahnya sendiri". Sudah memilih merdeka kok masih ingin diperlakukan sama? Sudah baik-baik pemerintah Indonesia mengizinkan mereka kuliah di Indonesia kok masih ingin minta lebih (dalam pepatah Jawa, diwehi ati ngrogoh rempela artinya "sudah diberi hati masih minta jantung")? Selain itu, dapat menimbulkan rasa iri hati mahasiswa asing lainnya terhadap mahasiswa dari Timor Leste karena biaya kuliah mereka disamakan dengan mahasiswa Indonesia. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi universitas itu sendiri karena dianggap tidak adil dalam memerlakukan mahasiswanya.

Sebagai penutup, pemerintah Indonesia harus ingat bahwa masih ada banyak anak-anak pengungsi korban politik Timor Timur yang hingga hari ini tidak bersekolah. Kehidupan mereka kian hari kian memrihatinkan. Sudah seharusnya pemerintah menolong dengan memberikan pendidikan gratis kepada mereka hingga mereka kuliah. Pemerintah Indonesia masih memiliki hutang atas jasa-jasa orang-orang Timor Timur pro integrasi. Merekalah yang seharusnya ditolong, bukan mereka yang dulu pernah menjelek-jelekkan nama Indonesia di mata internasional yang kita tolong.

1 comment:

  1. Emang goblok lah mereka udah merdeka tapi kuliahnya masih aja di Indonesia udah gitu Minta jatah masuk PTN lagi gw aja yg orang Indonesia susah kalo mau masuk UGM lah dia minta jatah kusus kan tolol!

    ReplyDelete