1 Desember Bukan Hari Kemerdekaan Papua Barat

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Papua selalu khawatir akan terjadinya kekacauan atau kerusuhan yang didalangi oleh beberapa gerombolan orang yang menamakan diri mereka OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau KNPB (Komite Nasional Papua Barat). Setiap tanggal ini, mereka mengadakan pengibaran bendera Bintang Kejora dan terkadang mengancam warga untuk ikut serta dalam upacara tersebut. Bentrokan antara massa pro separatisme dan aparat kepolisian seringkali tidak terelakkan. Mereka mengklaim bahwa tanggal 1 Desember 1961 adalah hari di mana Papua Barat menyatakan diri merdeka dari Belanda. Di satu sisi, pemerintah dan beberapa media di Indonesia menyatakan bahwa tanggal 1 Desember 1961 adalah hari terbentuknya OPM. Manakah yang benar?

Kedua pihak, baik pemerintah Indonesia maupun OPM, salah mengartikan peristiwa pada tanggal 1 Desember 1961. Tanggal 1 Desember 1961 adalah tanggal di mana pemerintah kolonial Belanda membentuk sebuah badan yang bernama Nieuw Guinea Raad dalam rangka menggagalkan penggabungan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia. Ini adalah modus yang sama yang dipakai oleh Belanda pada saat Perang Kemerdekaan (1945-1949) dengan cara membentuk negara-negara bagian untuk memecah belah rakyat Indonesia. Nieuw Guinea Raad terdiri dari 28 anggota dan dipimpin oleh Johan Herman Frederik Sollewijn Gelpke sebagai ketua dewan. Yang dipilih menjadi anggota-anggota Nieuw Guinea Raad adalah orang-orang Papua yang masih setia kepada Kerajaan Belanda. Mereka adalah orang-orang yang memiliki privilege pada masa kolonial Belanda.

Maka dari itu, klaim OPM bahwa Papua Barat sudah menyatakan kemerdekaan pada tanggal 1 Desember 1961 adalah klaim yang tidak logis. Bila kita analogikan, hal ini seperti Indonesia menjadikan hari terbentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Jika kita memiliki cara berpikir seperti OPM tersebut, maka kita tidak akan merayakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus melainkan pada tanggal 1 Maret.

Jika 1 Desember 1961 benar merupakan "Hari Kemerdekaan Papua Barat", maka ada dua pertanyaan yang mereka harus bisa jawab : "Siapa yang memroklamasikan?" dan "Apa isi teks proklamasinya?" Hasilnya tidak ada yang bisa menjawab karena memang jawabannya "tidak ada". Jika kita membaca sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia atau Vietnam, kita akan tahu bahwa Soekarno adalah proklamator kemerdekaan Indonesia atau Ho Chi Minh adalah proklamator kemerdekaan Vietnam. Isi teks proklamasinya juga dapat kita cari di Wikipedia. Tanggal 1 Juli 1971 yang ada peristiwa pembacaan teks proklamasinya justru dianggap sebagai "Hari Lahir OPM". Nama Seth Jafeth Rumkorem sebagai proklamatornya justru tenggelam oleh nama-nama tokoh OPM lainnya seperti Benny Wenda, Goliat Tabuni, dan Jacob Rumbiak. Ini sama seperti orang-orang lebih tahu nama Soedirman daripada Soekarno atau orang-orang lebih tahu nama Vo Nguyen Giap daripada Ho Chi Minh. Sungguh miris!

Papua sebenarnya sudah merdeka. Kapan? Papua secara resmi merdeka yaitu pada tanggal 1 Mei 1963, hari di mana UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) secara resmi menyerahkan Papua kembali kepada Indonesia. Peristiwa tersebut menandai akhir dari lembaran bab kolonialisme Belanda di Tanah Papua untuk selamanya. Sudah seharusnya kita, terutama masyarakat Papua, memaknai tanggal 1 Mei sebagai hari di mana masyarakat Papua dapat mulai membangun tanah mereka menuju masyarakat yang sejahtera dalam bingkai NKRI. Untuk tanggal 1 Desember, mari kita anggap sebagai catatan hitam dalam sejarah di mana Belanda berusaha menggagalkan Papua untuk kembali bergabung bersama saudara-saudaranya dari Aceh hingga Maluku.

Membangun Monumen Pejuang Integrasi Timor Timur

Kini sudah mencapai 14 tahun dari tahun 1999, tahun saat diadakannya jajak pendapat di Timor Timur. Meskipun begitu, ingatan akan konflik yang terjadi di Timor Timur antara kubu pro integrasi yang dibantu TNI dengan kubu pro kemerdekaan yang dibantu negara-negara Barat seakan masih fresh di benak rakyat Indonesia maupun rakyat Timor Leste. Untuk mengenang jasa-jasa para pejuang pro integrasi Timor Timur, pemerintah sudah sepatutnya membangun suatu monumen untuk mengenang mereka. Berbeda dengan Monumen Seroja di Jakarta Timur, monumen yang satu ini dimaksudkan khusus untuk mengenang para milisi pro integrasi Timor Timur.

Karena saya tidak dapat mendesain, saya jelaskan konsep monumennya dengan kata-kata. Konsep yang saya usulkan yaitu mirip Vietnam Veterans Memorial di Washington D. C., sebuah monumen untuk mengenang para prajurit Amerika yang tewas dalam Perang Vietnam. Di sana terdapat dinding memanjang yang diukir nama-nama prajurit yang gugur dalam Perang Vietnam. Untuk dinding monumen yang satu ini, kita ukir nama-nama anggota milisi yang tewas demi membela keutuhan bangsa. Setiap nama anggota milisi dikelompokkan sesuai nama kelompok milisi mereka, misal A adalah anggota milisi Mahidi maka ia akan dikelompokkan ke dalam nama-nama anggota milisi yang tewas dari kelompok Mahidi. Setiap dinding hanya akan dituliskan namanya saja, tidak pakai tanggal lahir maupun tanggal meninggal mengingat sulitnya memeroleh informasi.

Vietnam Veterans Memorial di Washington D. C.

Sekitar tiga meter dari dinding yang memanjang tersebut terdapat beberapa bangku panjang bagi para wisatawan maupun para peziarah agar dapat duduk-duduk. Jarak sekitar tiga meter itu dipergunakan untuk orang berjalan dan berdoa dan meletakkan karangan bunga di depan dinding tersebut. Di belakang bangku-bangku panjang itu sendiri dibuat taman agar suasana monumen terasa sejuk dan nyaman untuk berziarah.

Di tengah kawasan monumen juga dibangun sebuah tugu untuk mengenang jasa para milisi pro integrasi. Untuk tugunya, kita bangun setinggi Monumen Integrasi yang ada di Dili. Hanya saja, patungnya tidak akan sama persis dengan Monumen Integrasi. Patung yang satu ini berbentuk seseorang yang mengenakan seragam milisi, terdapat ikat kepala Merah Putih di kepala, serta tangan yang memegang senapan.

Monumen Integrasi yang berbentuk liurai dengan borgol terputus di kedua tangan

Tidak jauh dari situ juga terdapat Museum Integrasi Timor Timur. Di sana akan dijumpai foto-foto tokoh-tokoh APODETI (partai yang memerjuangkan integrasi Timor Timur ke dalam NKRI), seperti Arnaldo dos Reis Araujo, serta para komandan milisi, seperti Joao da Silva Tavares. Kemudian di sana para wisatawan dapat melihat senapan yang pernah dipakai komandan Laksaur Olivio Mendonca Moruk, seragam milisi Aitarak, naskah Deklarasi Balibo, dll. Akan ada beberapa guide untuk membantu menjelaskan para pengunjung mengenai sejarah integrasi Timor Timur. Setiap guide yang dipilih adalah warga eks Timor Timur yang tahu betul sejarah Timor Timur sesungguhnya.

Untuk lokasinya sendiri, Atambua adalah tempat yang paling cocok untuk membangun monumen ini. Alasan yang pertama adalah untuk mendongkrak sektor pariwisata di Atambua sendiri. Alasan yang kedua adalah para pengungsi eks Timor Timur paling banyak tinggal di Atambua jika dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Dengan dibangunnya monumen ini di Atambua, mereka dapat dengan mudah untuk melakukan ziarah walaupun sanak saudara atau teman mereka tidak dimakamkan di sana.

Agar monumen ini dapat segera terwujud, pemerintah perlu bekerjasama dengan organisasi yang menaungi para WNI eks Timor Timur yaitu UNTAS (Uni Timor Aswa'in) dan KOKPIT (Komite Nasional Korban Politik Timor Timur). Dengan kerjasama ini, diharapkan pemerintah bersama kedua organisasi tersebut mampu memeroleh berbagai informasi dengan cepat serta benda-benda bersejarah yang masih berhubungan dengan peristiwa integrasi Timor Timur.