Pantaskah Orang Kristen Menyebut Yesus dengan Nama Isa?

Ketika saya masih menduduki bangku kuliah, saya pernah ikut sebuah organisasi perdamaian lintas agama. Organisasi tersebut hanya beranggotakan pemuda-pemudi Muslim dan Kristen. Ketika saya menempuh semester 4 hingga semester 5, saya dan sejumlah teman kampus saya setiap minggu bertemu dengan pendiri organisasi tersebut yang mengaku sebagai orang Kristen, sebut saja dengan inisial AJ. Pak AJ mendorong kami untuk menjalankan "penginjilan" dengan caranya yang kini saya sadari tidak Alkitabiah. Kami diajarkan untuk membiasakan diri menyebut Yesus dengan nama "Isa", menyebut kata "Allah" mengikuti pelafalan orang Muslim, dan berdoa dengan menengadahkan tangan bukan melipat tangan. Beliau memiliki pemikiran bahwa untuk mendapatkan jiwa-jiwa orang Muslim kita harus menjadi serupa dengan orang Muslim. Satu-satunya hal yang saya setuju dengan beliau hingga hari ini adalah belajar bahasa asli Alkitab yaitu bahasa Ibrani dan bahasa Yunani sangatlah penting.

Pada suatu hari, saya menjadi anggota panitia peace camp yang adalah salah satu program organisasi tersebut. Ketika teman-teman yang Muslim menjalankan ibadah shalat, kami yang Kristen melakukan Doa Zabur. Ada salah seorang peserta yang berasal dari kampus yang sama dengan saya diminta untuk mengulangi doanya oleh Pak AJ. Kebetulan saat itu Pak AJ ikut mengawasi jalannya camp selama tiga hari dari awal hingga akhir. Teman saya ini diminta mengulangi doanya karena memakai sebutan "Tuhan Yesus". Pak AJ meminta teman saya berdoa dengan memakai sebutan "Isa Almasih". Padahal saat itu konteksnya berada di kalangan internal Kristen. Teman saya bersikeras untuk berdoa menggunakan sebutan "Tuhan Yesus". Terjadilah adu mulut di antara keduanya. Dari peristiwa itulah, saya mulai merenungkan kembali ajaran-ajaran yang disampaikan pemimpin organisasi tersebut kepada saya selama ini. Pantaskah kita menyebut nama Yesus memakai nama "Isa"?

Sebagian dari Anda mungkin berpikir : "Ah itu hanyalah perbedaan bahasa!" Benarkah demikian? Orang-orang Kristen Arab tidak menyebut Yesus atau Yeshua (ישׁוע) dengan nama "Isa" (عيسى) melainkan "Yasua" (يسوع). Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa kata "Isa" berasal dari bahasa Aram yaitu kata "Isho". Andaikata agama Islam tidak pernah muncul di dunia ini, bukankah orang-orang Arab akan mengenal nama Yesus dengan nama "Yasua" hingga hari ini? Andaikata Alquran tidak pernah ada, bukankah orang-orang Arab tidak akan pernah mengenal nama "Isa"? Kekristenan telah menyebar sampai ke Jazirah Arab jauh sebelum Muhammad lahir. Kota Najran yang terletak di Arab Saudi dan berada dekat perbatasan Yaman pernah memiliki komunitas Kristen terbesar di Jazirah Arab pada abad kelima Masehi, dua abad sebelum munculnya Islam. Maka dari itu, nama "Yasua" otomatis sudah lebih dulu dikenal oleh orang-orang Arab sebelum mereka kenal nama "Isa". Jadi dari sini dapat diketahui bahwa Islam atau Muhammadlah yang menciptakan nama "Isa" yang merujuk kepada pribadi Yesus tersebut.

Jika kita pelajari lebih lanjut, kita akan menemukan betapa banyak perbedaan antara sosok Yesus di dalam Alkitab dan Isa di dalam Alquran mulai dari yang paling kecil hingga paling fundamental. Contoh perbedaan kecil antara Yesus dan Isa adalah Yesus lahir di kandang domba sedangkan Isa lahir di bawah pohon kurma. Hal yang paling fundamental dari sosok Isa dan Yesus adalah Isa hanyalah seorang nabi atau manusia biasa sedangkan Yesus adalah Firman Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Jika Anda berani mengatakan bahwa Yesus adalah Isa, ingatlah ada konsekuensi teologis yang menyertai Anda! Dengan menyebut Yesus dengan nama "Isa", Anda secara tidak langsung mengamini bahwa kisah-kisah Isa di dalam Alquran adalah kisah Yesus. Anda mengamini bahwa Yesus lahir di bawah pohon kurma (QS 19 : 23), Yesus menyangkal dirinya adalah Tuhan (QS 5 : 116), dan Yesus tidak mati di atas kayu salib (QS 4 : 157)!

Anda mungkin berpikir : "Kita percaya bahwa Yesus adalah Isa dan ada kisah-kisah di dalam Alquran yang sesuai dengan Alkitab tetapi ada juga yang tidak sesuai dengan Alkitab." Sangatlah tidak etis jika kita menggunakan nama karakter di dalam kitab suci orang lain tetapi kita tidak percaya dengan kisah-kisah yang ada di dalam kitab sucinya. Tanpa kita sadari kita sedang "memerkosa" kitab suci orang lain. Kita hanya mau mengambil apa yang sesuai dengan keinginan kita tetapi tidak mau mengambil apa yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Jika kita merasa jengkel ketika melihat Dr. Zakir Naik main comat-comot ayat untuk mendukung keyakinannya, mengapa kita melakukan hal yang sama terhadap kitab suci orang lain? Jika Anda tetap bersikukuh bahwa Yesus sama dengan Isa, saya akan bertanya : "Pantaskah kita menyebut Yesus dengan nama "Krishna" mengingat ada banyak persamaan di antara keduanya?" Ada banyak persamaan bukan berarti mereka adalah sama.

Ini bukan soal boleh atau tidak boleh. Ini soal pantas atau tidak pantas. Pantaskah kita datang ke pesta pernikahan menggunakan celana pendek? Kita mungkin tidak akan diusir tetapi kita tahu bahwa hal tersebut tidak pantas, kecuali memang satu-satunya celana yang kita miliki adalah celana pendek tersebut. Bukankah ada tertulis "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan" (Keluaran 20 : 7)? Pastur Philip Mantofa dalam khotbahnya yang berjudul "Kristologi 101 - Siapakah Yesus?" mengatakan : "Jangan ikut-ikutan menyebut Yesus "Isa" karena konotasinya nabi banget." Setiap kata harus digunakan secara hati-hati karena setiap kata memiliki konotasi, baik itu positif maupun negatif. Apalagi kondisinya berada di tengah persekutuan orang-orang Kristen atau saudara-saudara seiman seperti cerita di atas, apa urgensinya kita harus menggunakan nama "Isa"?

Apakah Anda tahu bahwa sebelum dunia Barat mengenal kata "Islam", orang-orang Barat biasa menyebut agama Islam dengan istilah "Muhammadanisme"? Istilah ini dipakai oleh orang-orang Barat hingga era 1950-an. Istilah tersebut kini dianggap ofensif bagi umat Islam. Orang-orang Muslim menolak menggunakan istilah "Muhammadanisme" untuk agama mereka karena konotasinya Islam sebagai hasil pemikiran Muhammad. Jika orang-orang Muslim saja tidak senang agama mereka disebut dengan nama "Muhammadanisme", mengapa kita justru merasa senang dan menganggapnya tidak masalah menyebut nama Yesus dengan nama "Isa"? Kita sebagai orang Kristen tidak pantas menyebut Yesus dengan nama "Isa" karena alasan teologis (tidak sesuai dengan keyakinan kita) dan alasan etika (tidak baik mencomat-comot kitab suci orang lain). Kita baru pantas menggunakan nama Isa ketika kita sedang berbicara sosok yang ada di dalam Alquran. Jika orang Muslim mengklaim bahwa Isa adalah Yesus, itu adalah urusan mereka. Tinggal bagaimana mereka mampu membuktikan bahwa pendapat Alquran mengenai Yesus adalah benar dan pendapat Alkitab mengenai Yesus adalah salah di hadapan orang Kristen.

Saudara-saudara yang terkasih di dalam Tuhan Yesus Kristus, kita sebagai orang Kristen seharusnya bangga menyebut nama Yesus. Kita seharusnya bangga berkata bahwa Yesus adalah Tuhan. Saya setuju kita harus memiliki sikap toleransi. Namun menghargai keyakinan orang lain tidak berarti harus menyamakan keyakinan kita sendiri dengan orang lain. Paul Copan, seorang apologet Kristen, pernah berkata : "Toleransi berarti kita tetap menghormati orang lain dengan keyakinan yang mereka anut meskipun kita sama sekali tidak setuju dengan keyakinan yang mereka anut." Meskipun kita menghormati kepercayaan orang lain, kita harus tetap dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada jalan lain menuju keselamatan selain melalui Yesus Kristus. Kita sebagai orang Kristen seharusnya tidak hanya menunjukkan perbedaan diri kita dengan orang non Kristen dari sisi karakter tetapi juga dari sisi doktrin.