Dulu Guru Diteror, Timor Leste Sekarang Butuh Guru

Pada tanggal 6 Agustus 1945, Hiroshima dijatuhi bom atom oleh pesawat Sekutu. Sekitar 80.000 jiwa tewas seketika dan ribuan infrastruktur rata dengan tanah. Pada saat kabar tersebut sampai ke telinga Kaisar Hirohito, Hirohito bertanya : "Ada berapa guru yang masih tersisa di Jepang?" Tentu saja pertanyaan ini cukup mengejutkan banyak orang karena ia seharusnya bertanya berapa jumlah pasukan yang tersisa, bukan berapa jumlah guru. Sosok guru adalah sosok yang sangat dihormati di Jepang. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika Jepang dalam waktu 30 tahun dari yang awalnya hancur lebur akibat Perang Dunia II mampu menjadi raksasa ekonomi di Asia. Bagaimana dengan di Indonesia?

Saat ini di Timor Leste sangat kekurangan tenaga pendidik. Maka dari itu, pemerintah Timor Leste meminta Indonesia mengirimkan tenaga pengajar ke sana. Selain kekurangan guru, Timor Leste juga mengalami kekurangan tenaga teknis perencanaan. Hal ini disampaikan oleh duta besar Indonesia untuk Timor Leste Eddy Setiabudi dalam Rapat Koordinasi BNP2TKI dengan perwakilan Republik Indonesia dan Employment Business Meeting di Batam. Menurutnya, kekurangan itu dapat diisi oleh para pekerja asal Indonesia yang sedang mencari pekerjaan.

Indonesia sendiri sebenarnya juga membutuhkan banyak sekali guru khususnya untuk daerah-daerah pedalaman. Indonesia sebaiknya tidak "ekspor" tenaga pengajar ke Timor Leste tetapi memaksimalkan guru-guru honorer yang ada untuk dikirim ke daerah-daerah pedalaman. Demi menunjang kenyamanan dan kesejahteraan para guru, pemerintah dapat mendirikan wisma untuk guru-guru yang ditugaskan mengajar di daerah-daerah terpencil. Setiap wisma guru diberi fasilitas jaringan internet dan tempat olahraga. Diharapkan dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut dapat meningkatkan kinerja para guru. Setiap guru yang dikirim ke sana diberikan gaji yang jauh lebih tinggi daripada yang bekerja di kota. Untuk memastikan guru tersebut memiliki dedikasi atau tidak dalam dunia pendidikan, setiap guru diwajibkan mengikuti ujian seleksi yang diadakan pemerintah daerah dan diikat dengan kontrak kerja dengan pemerintah daerah setempat.

Timor Timur pada masa integrasi, pemerintah Indonesia menaruh perhatian khusus pada tingkat pendidikan di sana. Pemerintah Indonesia menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk mendirikan sekolah-sekolah serta menggaji para guru yang dikirim untuk mengajar di Timor Timur. Jumlah sekolah di Timor Timur terus meningkat sehingga pada tahun 1985 sudah ada sekolah dasar di setiap desa. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1995, dinyatakan perbaikan yang cepat terjadi dalam hal melek huruf, pendaftaran sekolah, dan hasil yang dicapai karena ada 33% penduduk dewasa (15 tahun ke atas) yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan SD. Pada tahun 1992, didirikanlah UNTIM (Universitas Timor Timur, sekarang Universidade Nacional Timor Lorosa'e) sebagai universitas pertama yang berdiri di Bumi Lorosae.

Sangat disayangkan, apa yang telah diberikan oleh pemerintah Indonesia bagaikan peribahasa air susu dibalas air tuba. Tentu masih membekas di benak beberapa orang, khususnya para guru yang pernah dikirim ke Timor Timur ketika masih bergabung dengan Indonesia, banyak guru yang mengeluhkan murid-muridnya tidak bisa berkonsentrasi, sering terlambat, tidak memakai seragam, bersifat tidak tunduk atau berdisiplin, meninggalkan kelas, dan hanya ingin berbicara tentang kemerdekaan Timor Timur. Ada juga beberapa kasus di mana pengajar diancam siswanya sendiri kalau tidak diberikan nilai yang memuaskan sehingga banyak pengajar di sana yang khawatir akan keselamatan jiwanya. Berdasarkan berita yang dilansir IndoNews tanggal 29 Juni 1999, ada sekitar 40% guru di kabupaten Lautem terpaksa meninggalkan daerah tersebut. Mereka mengaku merasa ada perasaan tidak aman mengajar. "Selain ancaman dari pihak pro kemerdekaan, juga perilaku kebanyakan siswa sudah tidak simpatik. Kadang mereka sudah main pukul," demikian kesaksian Abdul Rauf Kadir, salah seorang guru yang beristri warga pribumi Timor Timur.

Guru adalah aset berharga yang harus kita jaga demi kemajuan bangsa. Mengingat apa yang telah dilakukan oleh para generasi muda Timor Timur dahulu, Indonesia tidak perlu mengirim tenaga pengajar ke sana sebab banyak dari antara mereka yang tidak tahu terima kasih.

No comments:

Post a Comment