Benarkah Belanda Tidak Menjajah Papua? : Sebuah Analisa atas Argumentasi OPM (Bagian 2)

Saat ini kita telah memasuki era globalisasi di mana kehidupan modern telah sedikit banyak menggeser gaya hidup lokal pada sebagian besar masyarakat dunia. Namun apakah Anda menyadari bahwa setiap negara kini tidak hanya berlomba-lomba mengembangkan teknologi tetapi juga berlomba-lomba menggali masa lalu mereka? Berkat kemajuan teknologi informasi, kini kita dapat belajar sejarah hanya dari sebuah layar monitor. Secara tidak langsung romantisme masa lalu pun mulai tumbuh di sejumlah negara. Orang-orang Korea membanggakan masa pemerintahan Raja Sejong, orang-orang Makedonia membanggakan masa pemerintahan Raja Alexander III, orang-orang Italia membanggakan Kekaisaran Roma-nya, dan orang-orang Meksiko membanggakan Kekaisaran Aztek-nya. Bagaimana dengan orang-orang Indonesia? Orang-orang Indonesia membanggakan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit yang pernah menjadi kekuatan maritim di Asia. Selain faktor ekonomis untuk meningkatkan industri pariwisata, alasan pemerintah berbagai negara menggali masa lalu mereka adalah faktor psikologis yaitu menunjukkan kepada bangsa-bangsa lain di dunia bahwa bangsanya telah mengenal peradaban sejak lama dan patut dikagumi oleh bangsa-bangsa lain.

Wilayah Kerajaan Majapahit yang pernah menjadi kekuatan maritim di Asia

Raja Sejong yang menemukan huruf Hangul dan mendorong perkembangan sains dan teknologi di Korea

Raja Alexander III (Alexander Agung) yang menaklukkan Yunani, Asia Kecil, Persia, dan Mesir

Bagaimana dengan romantisme masa lalu OPM? Mereka sangat membanggakan masa kolonial Belanda-nya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar-gambar masa kolonial Belanda yang sering mereka tampilkan di media sosial. Sungguh miris ketika sebuah bangsa sangat bangga dengan masa kolonialnya. Ketika bangsa-bangsa lain menganggap masa kolonial sebagai masa kegelapan, OPM justru menganggapnya sebagai masa keemasan. Menurut Fabiano de Fouw, orang-orang Papua zaman dulu adalah orang-orang yang jahat dan suka memakan manusia tetapi mereka berubah menjadi baik setelah menerima Injil. Ia sendiri justru tanpa merasa malu menganggap nenek moyangnya adalah manusia-manusia yang primitif dan tidak mengenal peradaban. Muncul sebuah pertanyaan di benak saya : "Andaikata Papua berhasil lepas dari Republik Indonesia, bagaimana mereka nanti menyusun kurikulum mata pelajaran sejarah Papua Barat?" Maka akan terjadi apa yang saya sebut sebagai "kekosongan sejarah" yang sangat besar dari masa prasejarah hingga abad ke-19. Suatu hari nanti cepat atau lambat akan ada siswa yang bertanya : "Apa yang terjadi di Papua pada abad ke-1 hingga abad ke-18?" Guru-guru sejarah yang sudah dicuciotak oleh OPM tidak akan bisa menjawab kecuali kata "tidak tahu".

Hal ini berbeda dengan sejarah versi NKRI yang menganggap orang-orang Papua telah mengenal peradaban jauh sebelum masuknya Injil. Orang-orang Papua telah mengenal perdagangan, militer, dan pemerintahan sebelum orang-orang Belanda datang. Ini dibuktikan dengan adanya catatan seorang musafir asal Tiongkok yang bernama Chau Yu-kua dan penemuan keramik-keramik kuno asal Tiongkok di dasar laut di sekitar Papua yang menunjukkan telah ada hubungan dagang antara Papua dengan Tiongkok sejak ratusan tahun sebelum masuknya Injil di Tanah Papua. Pulau Papua dikenal oleh para saudagar Tionghoa dengan nama "Tung-ki". Kemudian Antonio de Abreu dan Francisco Serrao asal AL Portugal juga mencatat adanya pasukan asal Papua dalam tentara Kesultanan Tidore pada saat perang antara Kesultanan Tidore yang dibantu bangsa Spanyol melawan Kesultanan Ternate yang dibantu bangsa Portugis. Papua tidak menjadi bagian dari sejarah Indonesia semenjak penyerahan Papua Barat tahun 1963 tetapi sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Gap atau "kekosongan sejarah" Papua versi NKRI jauh lebih kecil dibandingkan versi OPM. Dari sini kita dapat melihat bahwa sejarah Papua versi NKRI lebih berisi dan lebih beradab tanpa menafikan perlunya bukti-bukti sejarah yang mendukung.

Menurut OPM, orang-orang Papua mengenal peradaban berkat kedatangan orang-orang Belanda. Apakah bangsa Tionghoa membutuhkan bangsa lain untuk membangun Tembok Raksasa? Apakah bangsa Mesir membutuhkan bangsa lain untuk membangun piramida? Apakah bangsa Maya membutuhkan bangsa lain untuk mengenal ilmu perbintangan? Apakah bangsa Yunani membutuhkan bangsa lain untuk mengenal ilmu filsafat? Mereka tidak butuh bangsa lain! Akan tetapi, ini tidak berlaku bagi OPM. Jangankan membangun struktur-struktur bangunan yang setara Koloseum atau Angkor Wat, bendera dan lagu kebangsaan saja mereka dibikinkan bangsa Belanda! Dalam salah satu video presentasi Benny Wenda di Youtube terlihat tulisan di slide-nya "Dutch gave Papuans flag and national anthem". Ini sebenarnya yang punya niat untuk bikin negara orang Papua atau orang Belanda? Kalau mereka memang niat untuk bikin negara sendiri, mengapa mereka tidak bikin bendera dan lagu kebangsaan sendiri?

Slide presentasi Benny Wenda ketika menjadi pembicara di Afrika Selatan

John Anari sebagai seorang aktivis Papua merdeka juga suka bernostalgia mengenang masa kolonial Belanda yang menurutnya adalah masa yang indah. Pemimpin WPLO (West Papua Liberation Organization) ini mengklaim bahwa dirinya sebagai pejuang Papua merdeka yang telah menjadi pembicara di tingkat PBB. Pria yang suka memakai topi PVK (Papoea Vrijwilligers Korps, korps sukarelawan bentukan kolonial Belanda yang terdiri dari para pemuda asli Papua) ini juga mengklaim dirinya telah melakukan banyak penelitian. Silakan kalau mau bikin klaim, tidak ada yang melarang. Bahkan ia mau mengklaim dirinya sebagai nabi baru pun juga tidak masalah. Namun ia perlu tahu bahwa setiap klaim harus diuji kebenarannya. John Anari dalam bukunya "Analisis Penyebab Konflik Papua dan Solusinya secara Hukum Internasional" yang diterbitkan di tahun 2011 dalam Bab V : Zaman Penjajahan Jepang dan Perang Dunia II halaman 102 menulis :

"Keharmonisan yang terjadi selama pemerintahan Belanda akhirnya sirna akibat kedatangan Jepang. Akibatnya banyak penduduk asli Papua sangat tidak senang dengan kehadiran bangsa Jepang ini. Walaupun tidak disambut baik oleh warga Papua, Jepang tetap memaksakan rakyat bekerja secara paksa untuk kepentingan mereka sehingga banyak penduduk asli Papua yang dipotong tangannya akibat tidak mau bekerja untuk kepentingan Jepang.

Kenyataan ini sangat berbeda dengan di Jawa yaitu di mana banyak warga Jawa menyambut baik kedatangan Jepang karena mereka sangat anti Belanda akibat penjajahan yang dilakukannya.

Dari hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa bangsa Belanda tidak menjajah bangsa Papua seperti yang dialami bangsa Indonesia."

Benarkah demikian? Pendapat John Anari secara tidak langsung dibantah oleh A. Ibrahim Peyon dengan bukunya yang berjudul "Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat". Meskipun saya memiliki sejumlah kritik atas bukunya, bagi saya Ibrahim Peyon adalah pendukung Papua merdeka yang paling pintar yang pernah saya kenal. Pria lulusan Universitas Cenderawasih Jurusan Antropologi tahun 2002 ini berbeda dari sebagian besar simpatisan maupun pemimpin OPM. Dia menganggap bangsa Belanda adalah bangsa penjajah. Pengajar tetap di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih ini mencatat banyak pemberontakan rakyat Papua melawan penjajahan Belanda : pemberontakan Saumira di Pulau Yapen (1925), pemberontakan Wasyari Faidan di Kepulauan Raja Ampat (1931), pemberontakan Wasbesren di Pulau Batanta (1934), pemberontakan Pamai Yakadewa di Hollandia, pemberontakan Angganita Manufandu dan Stevanus Simopiaref di Biak (1938-1943), pemberontakan Zakeus Pakage di Paniai (1954), pemberontakan Marindi di Pulau Kolepom (1959), dll. Jadi tidak benar pernyataan John Anari bahwa hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan rakyat Papua terjalin harmonis. Selain itu, dari sini kita juga dapat menyimpulkan bahwa ternyata seorang pembicara di tingkat PBB mampu dikalahkan oleh seorang antropolog lulusan Universitas Cenderawasih.

Buku "Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat" karya A. Ibrahim Peyon

Baiklah, kalau memang Belanda menyejahterakan rakyat Papua dan membangun Papua dengan hati, mengapa mereka tidak berjuang saja untuk menjadikan Papua Barat sebagai bagian dari Kerajaan Belanda kembali? Bukankah menurut mereka sejarah telah membuktikan bahwa rakyat Papua hidup sejahtera di bawah pemerintahan Belanda? Bukankah belum terjamin bahwa rakyat Papua akan hidup sejahtera ketika Papua Barat menjadi negara sendiri? Jika Anda adalah seorang pejuang kemerdekaan sejati, maka memerjuangkan Papua tetap bersama NKRI adalah pilihan yang tepat. Berbeda dari negara-negara tetangganya Malaysia, Singapura, Papua Nugini, dan Australia, Indonesia di dalam sejarahnya mengenal apa yang disebut sebagai "perang kemerdekaan" (war of independence). Kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil pemberian penjajah, melainkan hasil perjuangan dengan mengorbankan banyak darah. Republik Indonesia adalah negara yang lahir dari semangat persatuan yang dipadukan dengan semangat anti kolonialisme dan imperialisme. Sebagai penutup, saya akan memberikan sebuah quote hasil pemikiran saya sendiri :

"Perbudakan yang paling mengerikan bukanlah ketika tangan dan kaki kita telah dirantai melainkan ketika pikiran dan hati kita telah dirantai."
- Mozes Adiguna Setiyono -

Benarkah Belanda Tidak Menjajah Papua? : Sebuah Analisa atas Argumentasi OPM (Bagian 1)

"Belanda tidak pernah menjajah Papua, Indonesia yang menjajah Papua", demikian salah satu argumentasi yang paling sering saya temui ketika berdebat dengan para simpatisan OPM di media sosial Facebook. Beberapa akun Facebook yang saya ingat pernah mengatakan bahwa Belanda bukan bangsa penjajah, antara lain Catatan dari Papua, Fabiano de Fouw, John Anari, Temar Aya, Mateus Singpanky, dan Papua Putra. Ini adalah salah satu argumentasi paling konyol yang sering dilontarkan oleh para simpatisan OPM. Sebelumnya saya sudah membahas secara singkat argumentasi yang mengatakan bahwa Belanda tidak menjajah Papua. (Baca lebih lanjut : http://mozesadiguna95.blogspot.co.id/2016/03/lima-argumentasi-paling-konyol.html) Akan tetapi, saya sebagai penulis merasa membutuhkan artikel khusus untuk memberikan analisis yang lebih dalam dan tuntas sebagai kritikan atas argumentasi mereka yang satu ini.

Sekarang Anda silakan membuka Google Image dan ketik "Netherlands East Indies map". Gambar-gambar yang ditampilkan tentu tidak semuanya sesuai harapan. Yang harus kita cari adalah peta-peta antik terbitan di bawah tahun 1949. Kalau mau lebih akurat, Anda bisa mencari dengan kata kunci dalam bahasa Belanda "Nederland Indie kaart". Saya tidak menggunakan peta-peta vektor sebagai barang bukti mengingat peta vektor dapat dikarang sesuka hati desainernya. Peta-peta antik akan menggambarkan wilayah Netherlands East Indies atau Hindia Belanda terbentang dari ujung barat Sumatra hingga Papua sebelah barat. Gambar-gambar dari berbagai sumber ini sudah mematahkan argumen mereka yang baik yang mengatakan bahwa Papua tidak pernah menjadi koloni Belanda maupun Papua menjadi koloni yang terpisah dari Hindia Belanda. Papua baru menjadi koloni sendiri setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda tahun 1949 sehingga dalam peta manapun tidak akan pernah ditemukan wilayah koloni Netherlands East Indies berdampingan dengan wilayah koloni Netherlands New Guinea.

Wilayah New Guinea bagian barat diberikan warna yang sama dengan wilayah Hindia Belanda lainnya dan tidak ada garis pemisah di antaranya

Warna-warna yang berbeda menunjukkan provinsi-provinsi di dalam wilayah Hindia Belanda

Luas wilayah Hindia Belanda dibandingkan dengan luas Benua Eropa

Kalau bukan untuk menjajah, untuk apa bangsa Belanda datang ke Tanah Papua? Menurut Catatan dari Papua, Fabiano de Fouw, dan Temar Aya, orang-orang Belanda datang untuk menyebarkan Injil di Tanah Papua. Jika orang-orang Belanda datang hanya untuk menyebarkan Injil, mengapa mereka mendirikan pemukiman untuk orang-orang Belanda, membuka lahan pertanian dan pertambangan, merekrut orang-orang pribumi sebagai prajurit Belanda, dan menjadikan Papua sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Belanda? Ludwig Ingwer Nommensen sebagai seorang misionaris asal Jerman tidak pernah mengklaim wilayah Sumatra bagian utara sebagai koloni Jerman dan rakyat Batak sebagai subjek Kekaisaran Jerman. Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler yang menyebarkan Kabar Keselamatan di Papua juga tidak pernah mengklaim Papua sebagai bagian dari wilayah Kekaisaran Jerman bahkan diceritakan bahwa mereka terlebih dulu meminta izin kepada sultan Tidore sebelum menginjakkan kaki di Papua. Jadi sudah jelas bahwa orang-orang Belanda datang dengan motivasi 3G (gold, gospel, glory) sama halnya dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya.

Papua Putra mengatakan bahwa Belanda tidak menjajah Papua bahkan bekerjasama melawan Indonesia karena mungkin sama-sama Kristen. Yang membuat rakyat Papua menjadi mayoritas Kristen adalah orang-orang Belanda sendiri. Sebelum orang-orang Belanda datang ke Papua, rakyat Papua di pegunungan semuanya masih menganut animisme dan rakyat Papua di pesisir mayoritas masih beragama Islam. Carl Ottow dan Johann Geissler memang merupakan pelopor penyebaran Injil di Papua tetapi jumlah jiwa yang percaya kepada Yesus Kristus masih relatif sedikit pada masa pelayanan mereka. Orang-orang Filipina dan Spanyol sama-sama mayoritas beragama Katolik. Akan tetapi, orang-orang Filipina tetap menganggap orang-orang Spanyol sebagai penjajah. Jadi yang mereka terima hanya agama Katolik-nya, bukan orang-orang Spanyol-nya. Lebih parahnya lagi komentar dari Mateus Singpanky yang mengatakan bahwa orang-orang Belanda adalah utusan Tuhan. Utusan Tuhan macam apa yang suka mengadu domba? Bukankah di Alkitab disebutkan bahwa anak-anak yang membawa damai justru yang disebut sebagai "anak-anak Allah"? Jadi mereka ini utusan Tuhan atau utusan Iblis?

Screenshot komentar Mateus Singpanky di salah satu grup di Facebook

Catatan dari Papua juga mengatakan bahwa Indonesia dan Papua tidak bisa bersatu karena perbedaan ras. Jika masalahnya adalah perbedaan ras, bukankah warna kulit orang Belanda jauh lebih kontras dengan orang Papua dibandingkan warna kulit orang Melayu dengan orang Papua? Lagi-lagi dia memberikan jawaban bahwa selama di bawah pemerintahan Belanda orang-orang Papua diperlakukan dengan baik. Lalu dia juga mengatakan selama pemerintahan Belanda di atas Tanah Papua hanya ada satu orang Papua yang tewas dibunuh oleh tentara Belanda. Data dari mana dia bisa mengatakan seperti itu? Tidak hanya sumber data yang tidak jelas dan terkesan hanya karangan dia semata, mental inferioritas juga telah tertanam kuat di benak saudara kita ini.

Para aktivis Papua merdeka seringkali menghubungkan perjuangan mereka dengan perjuangan bangsa-bangsa kulit hitam lainnya. Keberadaan mereka ini sungguh mencederai perjuangan bangsa-bangsa kulit hitam lainnya. Ketika orang-orang Etiopia berjuang mati-matian memertahankan negaranya dari invasi Italia, orang-orang Kenya melancarkan pemberontakan Mau-Mau melawan kolonialisme Inggris, orang-orang kulit hitam Amerika berdemo menuntut hak-hak sipil, eh malah para aktivis Papua merdeka malah hidup enak saat masa kolonial Belanda. Ketika orang-orang Aborigin mengatakan orang-orang kulit putih membantai mereka seperti binatang, orang-orang Kongo menceritakan kekejaman raja Belgia yang suka memotong tangan budaknya, orang-orang Afrika Selatan meneriakkan penghapusan sistem apartheid, eh malah para aktivis Papua merdeka menceritakan betapa baiknya bangsa Belanda. Jadi mereka ini pejuang kemerdekaan sejati atau kolaborator penjajah yang sakit hati?

Para prajurit Etiopia yang siap memertahankan negara mereka dari invasi Italia

Para pemberontak Mau-Mau yang berjuang melawan kolonialisme Inggris di Kenya

Orang-orang Papua (barisan belakang) yang mau berperang bagi ratu Belanda

Lorosae yang Terlupakan : Sebuah Puisi untuk 40 Tahun Integrasi Timor Timur



Empat puluh tahun telah berlalu
Merah Putih tidak lagi berkibar di atasmu
Pemerintahku telah melupakanmu
Kisahmu telah dihapus dari buku sejarahku

Arnaldo Araujo, siapakah dia?
Joao Tavares, masihkah ada yang ingat namanya?
Maafkan nama kalian tidak lagi diingat
Pemerintahku lebih suka mencium pengkhianat

Kisahmu mulai hilang ditiup oleh waktu
Namun aku terus bercerita tanpa jemu
Sebuah kisah yang sangat indah dan berharga
Yang tidak seharusnya dilupakan oleh generasi muda

Ah apa dayaku
Tidak akan ada yang mendengarkan suaraku
Aku hanyalah seorang warga biasa
Yang berjuang demi persatuan Indonesia

Lima Argumentasi Paling Konyol Organisasi Papua Merdeka

Segala sesuatu yang kita yakini dan lakukan tentu memiliki alasan. Hanya orang yang tidak waras yang tidak tahu alasannya mengapa ia berbuat sesuatu. Sebagai contoh, saya makan ayam goreng. Tentu saja ada alasan di balik saya makan ayam goreng. Misalkan saja saya makan ayam goreng karena ayam goreng adalah makanan favorit saya atau bisa jadi saya terpaksa makan ayam goreng karena tidak ada pilihan makanan lain pada saat itu. Begitu pula mengapa saya mendukung NKRI tentu juga ada alasannya. Seringkali kata "debat" dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal melalui debat kita dapat belajar untuk berpikir kritis dan perdebatan membuat pola pikir kita semakin dewasa dan mampu menerima pendapat orang lain. Debat menjadi sesuatu yang negatif ketika debat tersebut telah menjadi debat kusir bahkan sudah bercampur berbagai macam kata makian. Saya sudah sering berdebat dengan para pendukung OPM di media sosial Facebook. Seringkali mereka hanya bisa mencaci maki lawan bicaranya ketika mereka telah terpojokkan. Berikut ini adalah lima argumen OPM yang paling konyol yang paling sering saya temui :

Belanda tidak menjajah Papua
Argumentasi ini dapat langsung menghilangkan rasa simpatik orang-orang Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Papua yang mungkin sempat muncul. Orang-orang Indonesia dapat langsung mengambil kesimpulan bahwa OPM bukanlah pejuang kemerdekaan sejati, melainkan kolaborator penjajah yang sakit hati. Bagi seorang pejuang kemerdekaan sejati, kemerdekaan harus direbut dengan tangan sendiri, bukan menunggu diberi. Tidak ada penjajah yang lebih baik, semua penjajah sama-sama buruk. Pernahkah Anda terpikirkan mengapa Benny Wenda tidak pernah melakukan kampanye Papua merdeka di Etiopia dan Haiti? Selain tidak akan dapat banyak uang karena Etiopia dan Haiti adalah negara miskin, alasannya juga karena kampanye Papua merdeka akan menjadi bahan tertawaan di sana. Etiopia dan Haiti merupakan simbol perlawanan bangsa kulit hitam terhadap penjajahan bangsa kulit putih. Orang-orang Etiopia bangga akan negaranya karena menjadi satu-satunya negara di Afrika yang tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa sedangkan orang-orang Haiti bangga akan negaranya karena menjadi republik kulit hitam pertama di dunia setelah peristiwa Revolusi Haiti yang merupakan pemberontakan budak terbesar kedua dalam sejarah umat manusia setelah pemberontakan Spartacus terhadap Imperium Romawi. Sebenarnya mereka bisa dengan mudah mengatakan "Belanda juga adalah penjajah bagi bangsa Papua" dan memotong sebuah perdebatan. Akan tetapi, mereka malah memilih ngotot membela Belanda bahkan memuji-muji Belanda yang justru berakibat munculnya sikap antipati dari orang-orang Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Papua untuk selama-lamanya.

Pertempuran Vertieres, pertempuran terakhir dalam sejarah Revolusi Haiti

Papua merdeka, Indonesia langsung jatuh miskin
Ini adalah argumentasi orang-orang yang buta geografi. Yang mereka tahu hanya Pulau Papua yang kaya akan sumber daya alam. Lebih lucunya lagi, semua pendatang yang tinggal di Papua mereka sebut sebagai "orang Jawa". Padahal para pendatang tersebut ada bermacam-macam etnis selain Jawa, antara lain Bugis, Bali, Batak, Manado, dan Ambon. Jika Anda masih ingat pelajaran geografi, Anda pasti ingat penjelasan Aceh sebagai provinsi yang kaya akan gas alam, Kalimantan Timur sebagai provinsi yang kaya akan batu bara, dan Bangka Belitung sebagai provinsi yang kaya akan timah. Tambang minyak bumi di luar Papua ada di Cepu, Cirebon, Wonokromo, Tarakan, Palembang, dan Jambi. Tambang emas di luar Papua ada di Batu Hijau, Simau, Tasikmalaya, dan Meulaboh. Toraja, Gayo, dan Flores juga merupakan daerah-daerah penghasil kopi yang telah menembus pasar mancanegara. Belum ditambah industri pariwisata Indonesia yang kini sedang berkembang pesat. Jadi tidak masuk akal jika kita mengatakan Indonesia langsung jatuh miskin begitu Papua lepas dari Indonesia. Kita tidak ingin Papua lepas dari NKRI bukan karena ingin mengeksploitasi kekayaan alamnya tetapi secara historis Papua memang sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Andaikata Pulau Papua setandus Gurun Sahara pun, kita tetap ingin Papua menjadi bagian dari NKRI.

Mata uang kolonial dianggap sebagai mata uang nasional

Mata uang kolonial Belanda yang diklaim OPM sebagai mata uang Papua Barat

Jika ini adalah mata uang Papua Barat, mengapa wajah-wajah yang terpampang adalah wajah orang-orang kulit putih? Mengapa bukan wajah tokoh-tokoh OPM seperti Markus Kaisiepo, Ferry Awom, atau Kelly Kwalik? Jika kita lihat mata uang Filipina, maka yang terpampang di sana adalah wajah Jose Rizal, Emilio Aguinaldo, dan Apolinario Mabini, bukan wajah Ferdinand Magellan atau Raja Felipe II. Jika kita lihat mata uang Amerika Serikat, maka yang terpampang di sana adalah wajah George Washington, Alexander Hamilton, dan Benjamin Franklin, bukan wajah Raja George III. Tentu kalau hal ini disampaikan di depan orang-orang asing, mereka juga pasti tertawa terbahak-bahak. Semua orang langsung tahu lembar uang di atas merupakan mata uang kolonial Belanda di Papua Barat cukup dengan melihat tulisan "Nederlands Nieuw Guinea".

Pernahkah Anda menyebut mata uang ini sebagai mata uang Republik Indonesia?

Indonesia melakukan genosida terhadap penduduk asli Papua
Memangnya apa sih arti dari kata "genosida"? Menurut KBBI, genosida berarti pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras. Menurut mereka, bukti pemerintah Indonesia melakukan genosida adalah jumlah pertumbuhan penduduk Papua yang terlihat lambat. Menurut mereka seharusnya penduduk asli Papua sudah mencapai 5 juta jiwa bukan 2 juta jiwa karena penduduk Papua Nugini sudah mencapai 5 juta jiwa. Pertanyaannya apakah mereka ini juga sudah menghitung orang-orang Papua yang tinggal di luar Papua? Lagipula tidak bisa bikin banyak anak kok orang lain yang disalahkan? Coba Anda pikirkan, lucu tidak sih kalau ada suami istri yang tidak bisa bikin anak malah ketua RT yang disalahkan? Filep Karma sendiri yang juga menggebu-gebu mengatakan bahwa terjadi genosida di Papua bukannya menikah dengan sesama orang Papua dan bikin anak-anak Papua sebanyak mungkin ternyata malah menikah sama orang Jawa. Sungguh munafik! Kalau memang benar-benar terjadi genosida di Papua, bagaimana bisa yang jadi gubernur dan wakil gubernur provinsi Papua dan Papua Barat adalah orang-orang asli Papua? Bagaimana bisa ada beberapa orang Papua yang jadi menteri Republik Indonesia? Lebih lucunya lagi, sudah tahu terjadi "genosida" bukannya sembunyi mereka malah bikin akun Facebook dan memasang foto wajahnya sebagai profile picture.

Inikah salah satu bukti adanya genosida?

Kalau benar terjadi genosida, mana mungkin ada orang asli Papua jadi gubernur?

Semua orang asli Papua adalah OPM
OPM ternyata tidak bisa membedakan mana etnis mana organisasi. OAP adalah sebuah etnis sedangkan OPM adalah sebuah organisasi. Sekarang pertanyaan saya apakah semua orang Muslim di Indonesia adalah FPI? Apakah semua orang kulit putih di Amerika Serikat adalah Ku Klux Klan? Jawabannya adalah "tidak". Kita melihat tidak kalah banyak orang-orang Muslim yang membenci FPI dan orang-orang kulit putih yang membenci KKK. Begitu pula dengan orang-orang Papua, pasti ada orang-orang Papua yang membenci OPM. Seperti yang kita ketahui, OPM adalah organisasi yang dibentuk oleh budak-budak Belanda yang sakit hati karena majikan mereka diusir dari Tanah Papua. Mungkin mereka tidak diperbudak secara fisik tetapi mereka diperbudak secara mental oleh Belanda. Buktinya mereka tidak menganggap Belanda sebagai penjajah. Mereka telah dibentuk dengan pemikiran bahwa mereka adalah bangsa inferior sehingga membutuhkan bangsa Belanda untuk memerkenalkan mereka dengan peradaban seolah mereka tidak mampu membangun peradaban dengan kekuatan mereka sendiri. Jika semua orang asli Papua adalah OPM, apakah semua orang Papua suka "mencium pantat" orang Belanda seperti halnya OPM? Ada banyak orang Papua yang tidak mau disuruh "mencium pantat" orang Belanda, beberapa di antaranya adalah Silas Papare, Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Johannes Dimara. Biasanya para simpatisan OPM hanya bisa mengatakan : "Mereka hanyalah cerita karangan Indonesia." Maka saya juga bisa mengatakan : "Benny Wenda adalah cerita dongeng karangan OPM yaitu seseorang yang punya kekuatan menghipnotis banyak orang dengan gas kentut sehingga mereka mendukung Papua merdeka."

Secara fisik mereka adalah budak tetapi jiwa mereka merdeka

Secara fisik mereka adalah merdeka tetapi jiwa mereka budak