1 Desember Bukan Hari Kemerdekaan Papua Barat

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Papua selalu khawatir akan terjadinya kekacauan atau kerusuhan yang didalangi oleh beberapa gerombolan orang yang menamakan diri mereka OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau KNPB (Komite Nasional Papua Barat). Setiap tanggal ini, mereka mengadakan pengibaran bendera Bintang Kejora dan terkadang mengancam warga untuk ikut serta dalam upacara tersebut. Bentrokan antara massa pro separatisme dan aparat kepolisian seringkali tidak terelakkan. Mereka mengklaim bahwa tanggal 1 Desember 1961 adalah hari di mana Papua Barat menyatakan diri merdeka dari Belanda. Di satu sisi, pemerintah dan beberapa media di Indonesia menyatakan bahwa tanggal 1 Desember 1961 adalah hari terbentuknya OPM. Manakah yang benar?

Kedua pihak, baik pemerintah Indonesia maupun OPM, salah mengartikan peristiwa pada tanggal 1 Desember 1961. Tanggal 1 Desember 1961 adalah tanggal di mana pemerintah kolonial Belanda membentuk sebuah badan yang bernama Nieuw Guinea Raad dalam rangka menggagalkan penggabungan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia. Ini adalah modus yang sama yang dipakai oleh Belanda pada saat Perang Kemerdekaan (1945-1949) dengan cara membentuk negara-negara bagian untuk memecah belah rakyat Indonesia. Nieuw Guinea Raad terdiri dari 28 anggota dan dipimpin oleh Johan Herman Frederik Sollewijn Gelpke sebagai ketua dewan. Yang dipilih menjadi anggota-anggota Nieuw Guinea Raad adalah orang-orang Papua yang masih setia kepada Kerajaan Belanda. Mereka adalah orang-orang yang memiliki privilege pada masa kolonial Belanda.

Maka dari itu, klaim OPM bahwa Papua Barat sudah menyatakan kemerdekaan pada tanggal 1 Desember 1961 adalah klaim yang tidak logis. Bila kita analogikan, hal ini seperti Indonesia menjadikan hari terbentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Jika kita memiliki cara berpikir seperti OPM tersebut, maka kita tidak akan merayakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus melainkan pada tanggal 1 Maret.

Jika 1 Desember 1961 benar merupakan "Hari Kemerdekaan Papua Barat", maka ada dua pertanyaan yang mereka harus bisa jawab : "Siapa yang memroklamasikan?" dan "Apa isi teks proklamasinya?" Hasilnya tidak ada yang bisa menjawab karena memang jawabannya "tidak ada". Jika kita membaca sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia atau Vietnam, kita akan tahu bahwa Soekarno adalah proklamator kemerdekaan Indonesia atau Ho Chi Minh adalah proklamator kemerdekaan Vietnam. Isi teks proklamasinya juga dapat kita cari di Wikipedia. Tanggal 1 Juli 1971 yang ada peristiwa pembacaan teks proklamasinya justru dianggap sebagai "Hari Lahir OPM". Nama Seth Jafeth Rumkorem sebagai proklamatornya justru tenggelam oleh nama-nama tokoh OPM lainnya seperti Benny Wenda, Goliat Tabuni, dan Jacob Rumbiak. Ini sama seperti orang-orang lebih tahu nama Soedirman daripada Soekarno atau orang-orang lebih tahu nama Vo Nguyen Giap daripada Ho Chi Minh. Sungguh miris!

Papua sebenarnya sudah merdeka. Kapan? Papua secara resmi merdeka yaitu pada tanggal 1 Mei 1963, hari di mana UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) secara resmi menyerahkan Papua kembali kepada Indonesia. Peristiwa tersebut menandai akhir dari lembaran bab kolonialisme Belanda di Tanah Papua untuk selamanya. Sudah seharusnya kita, terutama masyarakat Papua, memaknai tanggal 1 Mei sebagai hari di mana masyarakat Papua dapat mulai membangun tanah mereka menuju masyarakat yang sejahtera dalam bingkai NKRI. Untuk tanggal 1 Desember, mari kita anggap sebagai catatan hitam dalam sejarah di mana Belanda berusaha menggagalkan Papua untuk kembali bergabung bersama saudara-saudaranya dari Aceh hingga Maluku.

Membangun Monumen Pejuang Integrasi Timor Timur

Kini sudah mencapai 14 tahun dari tahun 1999, tahun saat diadakannya jajak pendapat di Timor Timur. Meskipun begitu, ingatan akan konflik yang terjadi di Timor Timur antara kubu pro integrasi yang dibantu TNI dengan kubu pro kemerdekaan yang dibantu negara-negara Barat seakan masih fresh di benak rakyat Indonesia maupun rakyat Timor Leste. Untuk mengenang jasa-jasa para pejuang pro integrasi Timor Timur, pemerintah sudah sepatutnya membangun suatu monumen untuk mengenang mereka. Berbeda dengan Monumen Seroja di Jakarta Timur, monumen yang satu ini dimaksudkan khusus untuk mengenang para milisi pro integrasi Timor Timur.

Karena saya tidak dapat mendesain, saya jelaskan konsep monumennya dengan kata-kata. Konsep yang saya usulkan yaitu mirip Vietnam Veterans Memorial di Washington D. C., sebuah monumen untuk mengenang para prajurit Amerika yang tewas dalam Perang Vietnam. Di sana terdapat dinding memanjang yang diukir nama-nama prajurit yang gugur dalam Perang Vietnam. Untuk dinding monumen yang satu ini, kita ukir nama-nama anggota milisi yang tewas demi membela keutuhan bangsa. Setiap nama anggota milisi dikelompokkan sesuai nama kelompok milisi mereka, misal A adalah anggota milisi Mahidi maka ia akan dikelompokkan ke dalam nama-nama anggota milisi yang tewas dari kelompok Mahidi. Setiap dinding hanya akan dituliskan namanya saja, tidak pakai tanggal lahir maupun tanggal meninggal mengingat sulitnya memeroleh informasi.

Vietnam Veterans Memorial di Washington D. C.

Sekitar tiga meter dari dinding yang memanjang tersebut terdapat beberapa bangku panjang bagi para wisatawan maupun para peziarah agar dapat duduk-duduk. Jarak sekitar tiga meter itu dipergunakan untuk orang berjalan dan berdoa dan meletakkan karangan bunga di depan dinding tersebut. Di belakang bangku-bangku panjang itu sendiri dibuat taman agar suasana monumen terasa sejuk dan nyaman untuk berziarah.

Di tengah kawasan monumen juga dibangun sebuah tugu untuk mengenang jasa para milisi pro integrasi. Untuk tugunya, kita bangun setinggi Monumen Integrasi yang ada di Dili. Hanya saja, patungnya tidak akan sama persis dengan Monumen Integrasi. Patung yang satu ini berbentuk seseorang yang mengenakan seragam milisi, terdapat ikat kepala Merah Putih di kepala, serta tangan yang memegang senapan.

Monumen Integrasi yang berbentuk liurai dengan borgol terputus di kedua tangan

Tidak jauh dari situ juga terdapat Museum Integrasi Timor Timur. Di sana akan dijumpai foto-foto tokoh-tokoh APODETI (partai yang memerjuangkan integrasi Timor Timur ke dalam NKRI), seperti Arnaldo dos Reis Araujo, serta para komandan milisi, seperti Joao da Silva Tavares. Kemudian di sana para wisatawan dapat melihat senapan yang pernah dipakai komandan Laksaur Olivio Mendonca Moruk, seragam milisi Aitarak, naskah Deklarasi Balibo, dll. Akan ada beberapa guide untuk membantu menjelaskan para pengunjung mengenai sejarah integrasi Timor Timur. Setiap guide yang dipilih adalah warga eks Timor Timur yang tahu betul sejarah Timor Timur sesungguhnya.

Untuk lokasinya sendiri, Atambua adalah tempat yang paling cocok untuk membangun monumen ini. Alasan yang pertama adalah untuk mendongkrak sektor pariwisata di Atambua sendiri. Alasan yang kedua adalah para pengungsi eks Timor Timur paling banyak tinggal di Atambua jika dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Dengan dibangunnya monumen ini di Atambua, mereka dapat dengan mudah untuk melakukan ziarah walaupun sanak saudara atau teman mereka tidak dimakamkan di sana.

Agar monumen ini dapat segera terwujud, pemerintah perlu bekerjasama dengan organisasi yang menaungi para WNI eks Timor Timur yaitu UNTAS (Uni Timor Aswa'in) dan KOKPIT (Komite Nasional Korban Politik Timor Timur). Dengan kerjasama ini, diharapkan pemerintah bersama kedua organisasi tersebut mampu memeroleh berbagai informasi dengan cepat serta benda-benda bersejarah yang masih berhubungan dengan peristiwa integrasi Timor Timur.

Kecurangan UNAMET dalam Referendum di Timor Timur

Karena pemerintah Indonesia terus-menerus mendapatkan tekanan dari berbagai negara khususnya Australia, Presiden Baharuddin Jusuf Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum di Timor Timur untuk mengetahui apakah rakyat Timor Timur menginginkan Timor Timur tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia atau menjadi sebuah negara sendiri. PM Australia John Howard secara pribadi mendesak Presiden B. J. Habibie melalui sebuah surat untuk segera mengadakan referendum di wilayah bekas koloni Portugal tersebut. Amerika Serikat sebagai salah satu sekutu Australia turut menjatuhkan embargo militer kepada Indonesia. Tanggung jawab referendum tersebut nantinya diserahkan kepada PBB. PBB segera membentuk tim misi dan mengirimkan staf dan pasukan yang sebagian besar berasal dari Australia untuk melaksanakan dan mengawasi referendum di Timor Timur. Data-data kecurangan di bawah diperoleh dari situs milik UNTAS (Uni Timor Aswa'in, organisasi yang menghimpun orang-orang Timor Timur pro integrasi pasca referendum).

Kecurangan dalam Referendum
Misi PBB tersebut diberi nama UNAMET (United Nations Mission in East Timor). UNAMET dibentuk pada tanggal 11 Juni 1999 sebagai kelanjutan dari Perjanjian Tri Partit tanggal 5 Mei 1999. UNAMET menyusun tahap kegiatan referendum sebagai berikut :
1. Tahap pendaftaran (16 Juli hingga 10 Agustus 1999)
2. Tahap kampanye (11 hingga 27 Agustus 1999)
3. Periode tenang (28 hingga 29 Agustus 1999)
4. Tahap pemungutan suara (30 Agustus 1999)
5. Tahap penghitungan suara (31 Agustus hingga 6 September 1999 tetapi kemudian dimajukan hingga 3 September 1999)

Kecurangan-kecurangan yang menonjol sebelum pelaksanaan jajak pendapat :
1. Perekrutan local staff hanya diambil dari kelompok pro kemerdekaan atau masyarakat yang akan memilih opsi merdeka

2. Sebagian besar TPS dari 274 TPS dengan lebih dari 700 bilik suara terletak di dekat pemukiman-pemukiman masyarakat pro kemerdekaan
3. Tanggal 16 Juli 1999 di desa Ritabo kecamatan Maliana kabupaten Bobonaro, tiga anggota UNAMET memaksa masyarakat melepas baju-baju yang bertuliskan pro otonomi dan menurunkan bendera Merah Putih yang masih berkibar di rumah-rumah penduduk
4. Tanggal 20 Juli 1999 di desa Komoro kabupaten Dili, anggota UNAMET beserta para local staff-nya melakukan intimidasi dengan mengizinkan masyarakat mendaftar dengan syarat memilih opsi 2 (opsi merdeka)
5. Tanggal 27 Juli 1999 di desa Bekoli kabupaten Baukau, personel UNAMET no. Ran 303 menjelaskan kepada masyarakat setempat : "Kedatangan UNAMET ke Timor Timur adalah untuk memerdekakan Timor Timur, perang saudara akan terjadi di Timor Timur dan itu adalah biasa bagi negara-negara yang sedang dilanda konflik di dunia manapun."
6. Tanggal 5 Agustus 1999 di kabupaten Ainaro, UNAMET mengizinkan pembentukan dewan mahasiswa tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah daerah setempat
7. Tanggal 5 Agustus 1999 di kabupaten Bobonaro, seorang anggota UNAMET yang sedang menerima pendaftaran mengatakan : "Kedatangan UNAMET hanya untuk bekerjasama dengan FALINTIL, bukan dengan Indonesia."
8. Tanggal 8 Agustus 1999 di surat kabar lokal Timor Timur diberitakan tindakan-tindakan tidak terpuji para personel UNAMET yang memerkosa wanita-wanita Timor Timur
9. Tanggal 14 Agustus 1999 di desa Paragua dan desa Gulolo kabupaten Bobonaro, seorang personel UNAMET bernama Smith bersama rekan-rekannya menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah masyarakat pro otonomi dan mengatakan : "Apabila masyarakat tidak menurunkan bendera Merah Putih yang dikibarkan di rumah masing-masing, maka akan saya sobek dan kalau tidak, akan ada rombongan CNRT di belakang yang akan merobeknya."
10. Tanggal 28 Agustus 1999 di kabupaten Maliana, seorang anggota UNAMET bernama Peter Bartu asal Australia memutarbalikkan berita-berita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di Maliana hingga menyebabkan ketegangan antara pihak pro kemerdekaan dan pro otonomi

Ada banyak tindakan kecurangan yang terjadi secara terang-terangan pada tanggal 30 Agustus 1999 (hari pemungutan suara). Berdasarkan laporan berbagai pihak, ada 29 macam kecurangan yang terjadi di 89 dari 274 TPS yang tersebar di 13 kabupaten di Timor Timur. Macam-macam pelanggaran tersebut :
Dilakukan oleh UNAMET :
1. Mengintimidasi masyarakat untuk memilik opsi 2 (tercatat 20 pengaduan dari Dili, Suai, dan Ambeno)
2. Memercepat waktu pembukaan dan penutupan pemungutan suara (tercatat 5 pengaduan dari Dili dan Ermera)
3. Sejumlah kartu suara opsi 2 sudah dicoblos dan dipersiapkan tinggal dimasukkan ke kotak suara (tercatat 2 pengaduan dari Dili)
4. Sebelum pemungutan suara dimulai kotak suara tidak dibuka (tercatat 1 pengaduan dari Aileu)
5. Kotak suara telah diisi kartu-kartu suara sebelum pencoblosan dimulai (tercatat 2 pengaduan dari Los Palos)
6. Mengarahkan pemilih buta huruf dan lansia untuk memilih opsi 2 (tercatat 2 pengaduan dari Dili dan Los Palos)
7. Menolak POLRI mengawal kotak-kotak suara sebaliknya menggunakan CNRT untuk mengawal kotak-kotak suara (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
8. CIVPOL (Civilian Police) menahan pemilih dengan alasan tidak jelas (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
9. Memersulit wartawan Indonesia sebaliknya memermudah wartawan asing untuk meliput di TPS (tercatat 1 pengaduan dari Vikeke)
10. Tidak mengizinkan pemantau nasional sebaliknya pemantau internasional dapat dengan mudah mengecek bilik-bilik suara (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
Dilakukan oleh local staff :
1. Memengaruhi bahkan memaksa para pemilih untuk mencoblos opsi 2 (tercatat 17 pengaduan dari Dili, Ermera, Ailiu, Maliana, dan Ainaro)
2. Mencoblos kartu-kartu suara dengan opsi 2 tanpa seizin pemilih (tercatat 3 pengaduan dari Los Palos dan Ermera)
3. Mengantar dan menunjukkan kepada orang-orang tua ke kotak suara untuk mencoblos opsi 2 (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
4. Merampas kartu suara dan pemilih tidak diperbolehkan mencoblos (tercatat 1 pengaduan dari Ermera)
5. Membagikan kartu suara dan membisikkan agar memilih opsi 2 (tercatat 3 pengaduan dari Maliana dan Ambeno)
Dilakukan oleh FALINTIL :
1. Menghadang serta mengintimidasi masyarakat pro otonomi yang akan menuju ke TPS (tercatat 3 pengaduan dari Ermera dan Aileu)
2. Mengintimidasi dari belakang bilik suara untuk memilih opsi 2 (tercatat 2 pengaduan dari Ermera)
3. Show of force dengan menggunakan senjata di sekitar TPS untuk menakuti masyarakat agar memilih opsi 2 (tercatat 1 pengaduan dari Baukau)
Dilakukan oleh warga pro kemerdekaan :
1. Memblokade masyarakat pro otonomi menuju ke TPS (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
2. Menjaga TPS dengan berseragam militer sambil membisikkan untuk memilih opsi 2 (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
3. Mengarahkan / memengaruhi / memaksa memilih opsi 2 (tercatat 9 pengaduan dari Dili, Vikeke, dan Aileu)
4. Menyebarkan isu pelemparan granat agar masyarakat pro otonomi takut ke TPS (tercatat 1 pengaduan dari Suai)
5. Menyerang masyarakat pro otonomi sehingga mengungsi dan tidak memilih (tercatat 1 pengaduan dari Aileu)
Dilakukan oleh mahasiswa pro kemerdekaan :
1. Membagikan kartu suara ke rumah-rumah untuk memilih opsi 2 (tercatat 1 pengaduan dari Dili)
2. Memengaruhi masyarakat untuk mencoblos opsi 2 (tercatat 3 pengaduan dari Vikeke)
Dilakukan oleh turis / wartawan Australia :
1. Membawa satu bundel sampel suara yang opsi 2 telah dicoblos untuk diberikan kepada masyarakat (tercatat 1 pengaduan dari Suai)
Kartu suara salah cetak : tercatat 1 pengaduan dari Baukau


Kartu suara saat referendum

Aksi Protes terhadap PBB
Karena dianggap berpihak kepada pro kemerdekaan, empat kelompok pengunjuk rasa dengan jumlah pengunjuk rasa sekitar 300 orang mendatangi gedung PBB di Jalan M. H. Thamrin, Jakarta, untuk mendesak agar UNAMET mundur. Keempat kelompok pengunjuk rasa tersebut adalah PERKASA (Perjuangan Kedaulatan Rakyat), PERPENAS (Persatuan Pemuda Nasionalis), FCBL (Forum Cinta Bumi Lorosae), serta HUMANIKA. Di lain pihak, aparat keamanan dari POLRI sudah berjaga-jaga di depan gedung sambil membawa pentung dan tameng untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan.

Mereka mengadakan aksi demo di depan gedung PBB dengan membawa bunga anggrek dan poster bertuliskan "Ingat!! UNAMET curang", "UNAMET go to hell", "UNAMET war criminal in Indonesia", dll. Ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan melemparkan telur busuk ke arah gedung PBB. Beberapa karyawan yang berada di dalam pagar terkena cipratan telur busuk. Para pengunjuk rasa dari kelompok PERKASA juga mengacung-acungkan bambu runcing dengan bendera Merah Putih dipasang di ujungnya sambil berteriak "Usir UNAMET!"

Ketua umum PERKASA Zulkifli Idris Tarigan berorasi di depan gedung PBB dan mengklaim bahwa ia memiliki bukti-bukti kecurangan UNAMET. Hal senada juga disampaikan oleh kelompok PERPENAS. Di lain pihak, dalam unjuk rasa FCBL terdapat sejumlah tokoh pro integrasi seperti Armindo Soares Mariano, Domingos Maria das Dores Soares, dan Fransisco Lopes de Carvalho. Dalam kelompok ini ada beberapa pengunjuk rasa yang menggunakan pakaian adat Timor Timur. "Orang UNAMET sengaja mengalahkan pro otonomi," kata Armindo Soares Mariano sedangkan Fransisco Lopes de Carvalho menuding UNAMET telah memrakarsai berdirinya kantor-kantor CNRT di Timor Timur.

Para Pahlawan Indonesia dari Bumi Lorosae

"Jangan sekali-kali melupakan sejarah!", demikian pesan founding father Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Pesan tersebut tentu tidak asing di setiap telinga orang Indonesia. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya", kutipan ini juga pasti tidak asing bagi kita. Pada tahun 1976, Timor Timur resmi bergabung ke dalam NKRI berdasarkan UU no. 7 tahun 1976. Banyak penduduk asli Timor Timur yang memerjuangkan integrasi Timor Timur ke Indonesia. Namun pemerintah seakan-akan telah melupakan perjuangan mereka. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya penghargaan gelar Pahlawan Nasional kepada satu atau beberapa pejuang integrasi yang telah meninggal, penghapusan satu bab dalam buku mata pelajaran sejarah yang khusus membahas proses integrasi Timor Timur, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib para pengungsi eks Timor Timur yang setia dengan Merah Putih yang kondisinya kian hari kian memrihatinkan. Berikut adalah nama para tokoh yang memerjuangkan maupun memertahankan integrasi Timor Timur ke dalam NKRI :

Jose Manuel Duarte, Salem Musalan Sagran, Germando das Doras Alves da Silva
Ketiga orang ini merupakan tokoh dan saksi hidup peristiwa "Perlawanan Vikeke" yakni pemberontakan rakyat Timor Timur melawan penguasa kolonial Portugis yang dimulai dari wilayah Vikeke. Pemberontakan ini merupakan awal dari keinginan rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor Timur bangkit mengangkat senjata melawan penjajah Portugis serta menjadikan bendera Merah Putih sebagai panji perjuangan. Pemberontakan diawali dengan perebutan senjata dari gudang senjata di Vikeke sebanyak 20 pucuk senjata jenis Croparen. Pemberontakan yang dimulai dari Vikeke ini meluas hingga ke Aileu, Same, dan daerah lainnya. Namun pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Portugal. Ratusan orang ditangkap, disiksa, dan dibunuh serta 68 orang dibuang ke Afrika Barat Portugis (sekarang Angola) dan Afrika Timur Portugis (sekarang Mozambik). Setelah Timor Timur bergabung dengan Indonesia, Menteri Luar Negeri Ali Alatas berupaya membawa pulang para pejuang pro integrasi yang masih diasingkan di luar negeri. Pada tanggal 10 November 1995, Jose Manuel Duarte, Salem Musalan Sagran, dan Germando das Doras Alves da Silva bersama sepuluh pejuang lainnya memeroleh penghargaan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Edi Sudradjat.

Arnaldo dos Reis Araujo

Arnaldo dos Reis Araujo

Arnaldo dos Reis Araujo merupakan pendiri partai APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense) yang bertujuan untuk menyatukan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia. Awalnya pria kelahiran Ainaro tanggal 14 Mei 1913 ini adalah seorang peternak. Pada masa Perang Dunia II, Arnaldo Araujo berkolaborasi dengan tentara Jepang untuk mengusir penjajah Portugis. Pada tahun 1974 muncul beberapa partai di Timor Timur yang memiliki tujuan yang berbeda-beda. Tiga yang terbesar yakni APODETI, UDT (Uniao Democratica Timorense) yang memertahankan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal, serta FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) yang menginginkan Timor Timur berdiri sebagai sebuah negara berdaulat. Situasi semakin mencekam di Timor Portugis. FRETILIN dengan bantuan pasukan pribumi militer Timor Portugis terus menyerang APODETI dan UDT sehingga memaksa keduanya untuk bersatu menghadapi serbuan FRETILIN. Puluhan ribu warga sipil yang mendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia menjadi korban kebiadaban FRETILIN. Perbatasan Timor Portugis dan NTT dibanjiri pengungsi dari berbagai penjuru Timor Portugis. Pada tahun yang sama, Arnaldo Araujo pergi ke Jakarta untuk meminta dukungan dari para pemimpin Indonesia. Ia kembali ke Timor Timur dan bersama-sama dengan Francisco Xavier Lopes da Cruz (ketua UDT) mengadakan proklamasi tandingan di Balibo untuk menandingi proklamasi kemerdekaan FRETILIN di Dili. Akhirnya ia ditangkap oleh FRETILIN dan disiksa dengan sangat tidak manusiawi. TNI kemudian melancarkan Operasi Flamboyan untuk menyelamatkan tokoh-tokoh Timor Timur pro integrasi termasuk Arnaldo dos Reis Araujo dan melarikan mereka menyeberang perbatasan menuju Timor Barat. Pada tanggal 7 Desember 1975, TNI mulai masuk ke Timor Timur dan berhasil memukul mundur FRETILIN ke hutan. Arnaldo dos Reis Araujo kembali dan menjadi gubernur pertama provinsi Timor Timur. Arnaldo Araujo meninggal di usia 74 tahun pada tanggal 24 Januari 1988.

Jose Fernando Osorio Soares
Jose Fernando Osorio Soares adalah sekretaris jenderal APODETI. Awalnya ia bersama Francisco Xavier do Amaral mendirikan partai ASDT (Associacao Social-Democrata Timorense) yang kelak menjadi FRETILIN. Ada berbagai versi bagaimana akhirnya ia meninggalkan iparnya ini dan ASDT kemudian bersama Arnaldo dos Reis Araujo mendirikan AITI (Associacao para Integracao de Timor na Indonesia) yang kelak menjadi APODETI. Sebagai seorang guru dan pendukung integrasi, Jose Soares memerkenalkan bahasa Indonesia kepada rakyat Timor Timur. Di kemudian hari, sebagian besar rakyat Timor Timur tidak terkejut atau merasa asing dengan bahasa Indonesia berkat jasa seorang Jose Fernando Osorio Soares. Selama 24 tahun bahasa Indonesia menjadi bahasa yang menyatukan masyarakat Timor Timur dengan masyarakat Indonesia lainnya tanpa menyingkirkan bahasa Tetum sebagai bahasa daerah. Singkat cerita, sang guru bersama wakil ketua UDT Agusto Cesar da Costa Mousinho ditangkap oleh FRETILIN. Terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam antara sayap sipil FRETILIN yang dipimpin oleh Alarico Fernandes dan Jose Manuel Ramos Horta dengan sayap militer yang dipimpin oleh Rogerio Tiago Lobato. Ramos Horta dan Alarico Fernandes bersedia untuk duduk di meja perundingan karena mereka memiliki kartu truf berupa penahanan wakil ketua UDT dan sekretaris jenderal APODETI sedangkan Rogerio Lobato ingin melanjutkan pertempuran. Hidup dan matinya sang guru kini berada di tangan para pemimpin FRETILIN. Pada malam 27 Juni 1976, Jose Soares bersama beberapa anggota keluarga Soares dan tahanan lainnya dibawa ke atas air terjun di daerah Same oleh pasukan FRETILIN. Dua buah tembakan terdengar disertai suara jeritan para tahanan. "Jangan beri kami kematian yang memalukan seperti ini! Anda lebih baik mengirim kami ke garis depan! Jangan membunuh kami seperti ini. Tolong hentikan!", demikian kata-kata terakhir Jose Fernando Osorio Soares berdasarkan kesaksian Moniz Maia, salah seorang korban yang selamat. Sayangnya belas kasihan tetap tidak datang kepadanya. Jose Fernando Osorio Soares ditikam lalu didorong jatuh ke jurang oleh serdadu FRETILIN.

Joao da Silva Tavares
Joao da Silva Tavares adalah panglima PPI (Pejuang Pro Integrasi) ketika terjadi pergolakan di Timor Timur. Saat itu situasi semakin keruh dan teriakan-teriakan kelompok separatis semakin keras. Karena itu, dibentuklah kelompok-kelompok milisi pro integrasi Timor Timur seperti Gadapaksi, Makikit, Halilintar, dll. Sepuluh sayap milisi yang tersebar di 18 sektor berada di bawah komando Joao da Silva Tavares sebagai panglima PPI. Terjadi pertumpahan darah di seluruh Timor Timur antara kelompok pro integrasi dan kelompok pro kemerdekaan. Para milisi pro integrasi siap bertempur habis-habisan melawan FALINTIL (Forcas Armadas da Libertacao Nacional de Timor Leste) beserta para pendukungnya demi memertahankan Merah Putih tetap berkibar di bumi Lorosae. Perjuangan mereka mengalami tekanan setelah kedatangan pasukan INTERFET (International Force for East Timor) dan kelompok pro kemerdekaan menjadi semakin kuat. Ketika diwawancara oleh seorang wartawan, ia sempat mengatakan : "Orang-orang Timtim pro integrasi tidak takut menghadapi kapal, pesawat, maupun helikopter perang yang canggih yang dikirim pasukan PBB ke Timtim bahkan kami siap bergerilya selama seratus tahun." Setelah Timor Timur lepas dari NKRI, mantan bupati Bobonaro tersebut mengurus nasib para pengungsi dari Timor Timur yang setia dengan Merah Putih ke Timor Barat yang merupakan wilayah Indonesia. Joao Tavares sempat ditawari oleh pemerintah Indonesia sebuah vila mewah di Bogor. Namun ia menolak tawaran tersebut dan memilih tinggal di Atambua dan berbaur dengan para pengungsi. Tanggal 8 Juni 2009, sang panglima tutup usia pada usia ke-78. Mantan wakil panglima PPI Eurico Barros Gomes Guterres meminta pemerintah Indonesia untuk menganugrahkan Joao da Silva Tavares gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya memertahankan keutuhan NKRI tetapi permintaan tersebut sampai sekarang belum dipenuhi bahkan cenderung diabaikan.

Upacara pemakaman Joao da Silva Tavares di TMP Seroja (Kupang)

Abilio Jose Osorio Soares

Abilio Jose Osorio Soares

Pria kelahiran Laklubar, Manatuto, pada tanggal 2 Juni 1947 ini merupakan gubernur terakhir provinsi Timor Timur. Berbeda dengan para pendahulunya yakni Guilherme Maria Goncalves (gubernur kedua) dan Mario Viegas Carrascalao (gubernur ketiga) yang memilih menjadi warga negara Timor Leste setelah merdeka, Abilio Soares tetap memilih menjadi warga negara Indonesia sampai hembusan napas terakhir. Ia dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyat. Selama menjabat sebagai gubernur, ia menolong para pengikut FRETILIN yang saling bertikai dengan maksud mereka ditolong dengan diberi pekerjaan dan kehidupan yang layak agar mereka tidak akan kembali bergabung dengan FRETILIN dan mengacau keamanan. Namun ternyata sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang yang bermuka dua. Beberapa di antara mereka memakai kesempatan itu untuk membantu gerakan separatis. Sang gubernur mengancam akan memecat pegawai negeri sipil yang ketahuan mendukung kelompok separatis serta memutus beasiswa bagi mahasiswa asal Timor Timur yang mendukung ide Timor Timur merdeka. Gubernur Abilio Soares juga pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar pejuang Timor Timur, Dom Boaventura (liurai Manufahi), menjadi Pahlawan Nasional. Bandara Komoro sempat direncanakan akan diganti nama menjadi Bandara Dom Boaventura. Permusuhan antara kubu pro integrasi dengan kubu pro kemerdekaan semakin memanas. Ia terpaksa mengalihkan sebagian pendapatan daerah bahkan sampai menyumbangkan uangnya sendiri untuk mendanai perjuangan para pejuang pro integrasi memertahankan Merah Putih. Setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, Abilio Soares ditahan bahkan nyaris dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Indonesia sendiri karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat. Pada tahun 2004, Abilio Soares dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Abilio Jose Osorio Soares menghembuskan napas terakhirnya pada 17 Juni 2007 di Kupang.

Eurico Barros Gomes Guterres

Eurico Barros Gomes Guterres

Pria kelahiran Uatulari, Vikeke, pada tanggal 17 Juli 1971 ini adalah mantan wakil panglima PPI dan kini menjadi ketua umum UNTAS (Uni Timor Aswa'in) yakni organisasi yang menghimpun orang-orang Timor Timur yang memilih tinggal di Indonesia. Awalnya ia adalah seorang yang pro kemerdekaan. Suatu kali ia ditangkap oleh intelijen TNI dengan tuduhan bahwa ia berkomplot untuk membunuh Presiden Soeharto yang akan mengunjungi Dili. Namun peristiwa tersebut menjadi titik balik dalam hidup Eurico Guterres. Semenjak saat itu, Eurico Guterres berprinsip bahwa integrasi Timor Timur ke Indonesia adalah harga mati. Prabowo Subianto menaruh perhatian pada kemampuan Eurico Guterres sehingga pada tahun 1994 ia merekrut Eurico Guterres sebagai salah satu milisi Gadapaksi. Karena kegigihan dan keaktifannya dalam memerangi FALINTIL dan para pendukung kemerdekaan, karirnya terus melonjak hingga ia menjadi wakil panglima PPI. Setelah Timor Timur lepas dari NKRI, Eurico Guterres meninggalkan harta benda bahkan anak dan istri (karena istri dan anak-anaknya memilih tetap tinggal dan menjadi warga negara Timor Leste) untuk hijrah ke Timor Barat bersama para pengungsi yang setia dengan NKRI. Kecintaannya terhadap Merah Putih semakin diuji ketika ia harus ditahan karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat oleh negaranya sendiri. Kemudian ia dibebaskan setelah naik banding hingga ke tingkat MA. Eurico Guterres berada di posisi nomor 1 dalam DPO (daftar pencarian orang) pemerintah Timor Leste. Kini Eurico Barros Gomes Guterres menjabat sebagai ketua umum UNTAS (Uni Timor Aswa'in) untuk memerjuangkan nasib orang-orang Timor Timur di Indonesia.

Octavio A. J. O. Soares

Octavio A. J. O. Soares

Octavio A. J. O. Soares adalah pemuda Timor Timur yang giat mengampanyekan integrasi Timor Timur baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan ia rela meninggalkan cukup lama kuliahnya di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, demi berkampanye memerjuangkan integrasi. Ia adalah keponakan gubernur terakhir Timor Timur, Abilio Jose Osorio Soares. Pemuda yang memiliki darah campuran Portugis ini sangat geram ketika Jose Manuel Ramos Horta dan Uskup Carlos Felipe Ximenes Belo akan diberi penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo. Bersama dengan Joao Angelo Sousa Mota dan dengan bantuan dana dari Prabowo Subianto, Octavio Soares terbang ke Norwegia untuk berkampanye di sana untuk memerjuangkan integrasi Timor Timur serta memaparkan bukti-bukti pembunuhan oleh Jose Manuel Ramos Horta selama tahun 1974 hingga 1976. Begitu mendarat di Oslo, kedua pemuda tersebut langsung ditangkap karena dianggap akan membunuh Jose Ramos Horta. Mereka ditahan dan diinterogasi selama 10 jam oleh pihak keamanan Norwegia bahkan tidak diberi makan. Akibat dari penangkapan ini, para pemuda Timor Timur pro integrasi berdemo di depan kedutaan besar Norwegia di Jakarta. Norwegia dianggap telah melanggar HAM di negeri mereka sendiri. Kini Octavio Soares memilih fokus pada bidang kesehatan. Ia menetap di Kupang dan mengabdi sebagai seorang dokter serta sebagai dosen di STiKes CHMK.

Sebenarnya masih ada banyak lagi tokoh-tokoh Timor Timur baik yang memerjuangkan maupun yang memertahankan penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI. Namun saya cukup paparkan nama-nama mereka yang perlu Anda ketahui : Hermenegildo Martins, Casimiro Assuncao de Araujo, Evaristo da Costa, Domingos Maria das Dores Soares, Filomeno de Jesus Hornay, dll. Mereka semua patut menjadi panutan bagi kita semua untuk memiliki rasa cinta tanah air. Meskipun tanah kelahiran mereka kini telah menjadi sebuah negara tetapi mereka tetap setia terhadap Indonesia bahkan mereka dapat dikatakan lebih "Merah Putih" daripada kita sendiri. Walaupun sebagian dari mereka telah tiada, jiwa dan semangat mereka akan terus abadi di hati rakyat Indonesia khususnya mereka yang berasal dari Timor Timur.

Integrasi Papua ke Indonesia Adalah Sah

Kurang lebih 50 tahun silam, Papua Barat secara resmi bergabung ke dalam NKRI setelah lama berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sayangnya masih ada banyak orang Papua yang memermasalahkan integrasi Papua ke dalam NKRI dan menuntut pemisahan Papua dari NKRI. Belum lagi ditambah adanya provokasi-provokasi dari pihak OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang terkadang memutarbalikkan fakta. Integrasi Papua ke wilayah Indonesia adalah sah karena telah disetujui oleh rakyat Papua sendiri dan juga oleh PBB.

Papua dalam Kongres Pemuda
Kongres Pemuda adalah kongres yang diadakan dan dihadiri oleh para pemuda dari berbagai penjuru Hindia Belanda. Kongres Pemuda I diadakan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1926 sedangkan Kongres Pemuda II diadakan pada tahun 1928 tepatnya tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II diselenggarakan dengan tujuan mendorong seluruh pemuda Indonesia bersatu padu mewujudkan Indonesia merdeka sehingga dihasilkanlah Sumpah Pemuda. Dalam kongres kedua inilah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperkenalkan oleh Wage Rudolph Soepratman yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Ada banyak orang Indonesia, terutama mereka yang berasal dari masyarakat asli Papua sendiri, yang tidak mengetahui bahwa ada beberapa pemuda Papua ikut hadir dan menjadi saksi peristiwa bersejarah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penelusuran sejarah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya banyak orang Indonesia tidak dapat mengetahui secara rinci siapa saja yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda tersebut. Maka dari itu, hal ini dapat dipakai oleh OPM untuk menyebarkan kebohongan bahwa tidak ada wakil dari Papua dalam peristiwa Sumpah Pemuda.

Ramses Ohee, ketua adat Tobati-Enggros sekaligus ketua Barisan Merah Putih, pernah mengakui bahwa orangtuanya, Poreu Abner Ohee dan Pouw Orpa Pallo, pernah turut menjadi wakil Papua dalam Kongres Pemuda tahun 1928 walau mereka tergabung dalam organisasi Jong Ambon. Berarti dapat disimpulkan bahwa dahulu orang-orang Papua pernah sepakat untuk berikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Masyarakat Papua telah lama menggunakan bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa Indonesia bukan sejak resmi bergabung dengan Indonesia.

Ramses Ohee

Para Pahlawan Indonesia dari Papua
Bagi sebagian besar warga negara Indonesia tentu tidak asing dengan nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Jenderal Soedirman, dll. Di satu sisi, masih ada banyak dari antara kita yang tidak mengetahui para pahlawan Indonesia dari Papua. Pemerintah seharusnya memasukkan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang kemerdekaan dari Papua ke dalam buku-buku pelajaran sejarah. Selain itu, nama-nama mereka juga seharusnya lebih sering diabadikan untuk nama jalan, gedung, dan lain sebagainya di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya di Papua, sehingga dengan begitu perjuangan mereka dapat diketahui dan terus dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Papua.

Salah satunya adalah Marthen Indey. Marthen Indey adalah mantan anggota polisi Belanda. Putra Papua kelahiran 14 Maret 1912 di Doromena, Hollandia (sekarang Jayapura), ini pernah ditugaskan untuk mengawasi para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dibuang ke Digul. Dari sanalah muncul rasa nasionalisme Marthen Indey. Bersama 30 orang temannya, ia merencanakan penangkapan aparat keamanan Belanda. Sayangnya rencana ini tercium oleh pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya ia pun dipindahtugaskan ke daerah terpencil di hulu Sungai Digul. Ketika tentara Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda saat Perang Dunia II, Marthen Indey ikut pergi bersama pemerintahan pengasingan Hindia Belanda menuju Australia. Pada tahun 1944, ia kembali ke tanah air bersamaan dengan datangnya pasukan Sekutu. Bulan Oktober 1946, Marthen Indey mulai menghubungi para tokoh Maluku yang pro kemerdekaan. Karena sering berkomunikasi dengan kelompok pro republik di Ambon, ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda. Semangatnya tak pernah padam. Bulan Januari 1962 ketika Operasi TRIKORA dilancarkan, Marthen Indey menyusun kekuatan gerilya serta membantu penyelamatan anggota-anggota RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) yang diterjunkan untuk membebaskan Papua Barat. Ia pernah membantu menyembunyikan sembilan orang anggota RPKAD yang selamat dari patroli Belanda di rumahnya. Ia kemudian diangkat sebagai anggota MPRS terhitung dari tahun 1963 hingga 1968 setelah Papua Barat resmi bergabung ke dalam wilayah Indonesia. Marthen Indey meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1986 di usia 74 tahun.

Marthen Indey

Silas Ayari Donrai Papare, seorang mantan pegawai pemerintah kolonial Belanda asal Serui, Kepulauan Yapen, ikut memerjuangkan kemerdekaan Papua dengan gigih hingga ia dipenjara di Hollandia karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak. Di dalam penjara, pria kelahiran 18 Desember 1918 ini bertemu Dr. Sam Ratulangi dan dari sana ia berkeyakinan bahwa Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia. Setelah dibebaskan dari penjara di Hollandia, ia bersama seorang putra Papua berdarah Tionghoa, Thung Tjing Ek, membentuk PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian) pada tahun 1946. Setahun kemudian, Silas Papare bersama beberapa rekannya ditahan karena mengibarkan bendera Merah Putih tetapi ia berhasil melarikan diri dari penjara. Ketika dikejar oleh aparat keamanan Belanda, ia bersama keluarganya meninggalkan Serui, kota kelahirannya, menuju Yogyakarta. Di Yogyakarta, Silas Papare tetap aktif memerjuangkan pembebasan Papua dengan mendirikan Badan Perjuangan Irian. Indonesia dan Belanda akhirnya sepakat untuk bertemu di New York untuk mengakhiri masalah Papua Barat. Putra asli Papua ini ditunjuk sebagai salah satu delegasi Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan Papua Barat ke Indonesia, ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota MPRS. Di depan sidang MPRS bulan Maret 1967, Silas Papare berpidato : "Kami orang-orang Papua hanya menghendaki kehidupan yang lebih baik." Hal ini menunjukkan keyakinan kuat Silas Papare bahwa Papua adalah bagian sah dari Republik Indonesia. Silas Papare menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 7 Maret 1978. Kutipannya yang terkenal adalah "Jangan sanjung aku tetapi teruskanlah perjuanganku."

Silas Ayari Donrai Papare

Kedua pahlawan Indonesia di atas bersama dengan Frans Kaisiepo dan Johannes Abraham Dimara yang juga merupakan putra asli Papua memeroleh penghargaan gelar Pahlawan Nasional. Marthen Indey, Silas Papare, dan Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993 oleh Presiden Soeharto sedangkan J. A. Dimara baru ditetapkan pada tanggal 11 November 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak hanya mereka berempat, masih ada banyak pejuang asal bumi Cendrawasih yang memerjuangkan penyatuan Papua ke dalam NKRI seperti Lukas Rumkorem, Stevanus Rumbewas, Petrus Wattebossy, serta Petero Jandi yang dihukum mati oleh pemerintah kolonial, dan lain sebagainya. Beberapa di antara mereka patut menyusul ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Frans Kaisiepo

Johannes Abraham Dimara

Penentuan Pendapat Rakyat
Setelah sekian lama berjuang, Indonesia berhasil membebaskan Papua Barat dari tangan kolonial Belanda. Amerika Serikat sebagai negara pendonor bantuan ekonomi negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II termasuk Belanda kini berbalik mendorong Belanda untuk segera melepaskan Papua Barat. Untuk memenuhi isi New York Agreement tahun 1962 dan mendapatkan persetujuan dari PBB, pemerintah Indonesia harus mengadakan PEPERA (penentuan pendapat rakyat) untuk mengetahui keinginan masyarakat di sana apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri. OPM juga menuduh penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis dan tidak sah. Berikut adalah yang sebenarnya terjadi.

Pada tahun 1969, diadakanlah PEPERA yang dilakukan oleh Panitia Sembilan yang telah dilantik oleh DPRD setempat. Panitia ini segera menghubungi para tokoh masyarakat Papua untuk segera bergabung dalam DMP (Dewan Musyawarah PEPERA). PEPERA diikuti oleh 1.026 anggota DMP yang menjadi wakil dari rakyat Papua Barat dari delapan kabupaten. PEPERA dimulai dari Merauke, ujung timur Indonesia, tanggal 14 Juli 1969 hingga terakhir diadakan di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969. Sebagian besar wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan PEPERA turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat PEPERA mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.

Tugu PEPERA di Jayapura

Hasil PEPERA kemudian diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi PEPERA) untuk dilaporkan pada saat Sidang PBB ke-24 pada tanggal 19 November 1969. Sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Papua Barat ke wilayah Indonesia, hanya 30 negara yang abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua Barat. PBB menyatakan bahwa Papua Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB no 2504.

Sekarang kedua provinsi di Papua yakni Papua dan Papua Barat telah memeroleh otonomi khusus. Bantuan dana otonomi khusus yang telah diberikan oleh pemerintah pusat tidaklah kecil. Sudah bukan waktunya lagi untuk memermasalahkan integrasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua yang tergabung dalam OPM sudah seharusnya menurunkan senjata dan kembali bersama-sama mengerahkan segala potensi untuk membangun Tanah Papua menuju masa depan yang cerah. Integrasi Papua sudah final. Saat ini sudah ada beberapa tokoh OPM yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan memeroleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, antara lain Nicolaas Jouwe dan Franzalbert Joku. Biarlah sebutan "Tanah Surga" tetap terus melekat dengan Tanah Papua di mana setiap orang dari berbagai suku bangsa dan agama hidup dalam damai dan hidup berdampingan.

Kebanggaan rakyat Papua terhadap Merah Putih

Masa Integrasi Adalah Masa Terindah bagi Timor Timur

Timor Timur, wilayah yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia, kini telah menjadi sebuah negara yang bernama "Timor Leste". Timor Timur awalnya merupakan wilayah jajahan Portugal hingga tahun 1975. Kemudian berintegrasi dengan Indonesia sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat Timor Timur saat itu. Selama Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Timor Timur jauh lebih sejahtera dan lebih maju dibandingkan masa penjajahan Portugis dan setelah melepaskan diri dari NKRI. Timor Timur akhirnya lepas dari NKRI setelah diadakan referendum yang penuh kecurangan pada tahun 1999. Saat ini Timor Leste menjadi negara termiskin ke-7 di dunia.

Peta Timor Leste

Bendera Timor Leste

Masa Kolonial Portugis
Bangsa Portugis menjajah Timor Timur selama kurang lebih 450 tahun. Rakyat Timor Timur hidup dalam kemiskinan, sebagian besar rakyat buta huruf, dan penuh diskriminasi bahkan dalam pendiskriminasian penduduk pribumi dilarang menginjak jalan aspal. Sebuah diskriminasi yang dapat dinilai keterlaluan. Hanya ada sedikit sekali lulusan akademi yang dihasilkan bangsa Portugis selama menjajah Timor Timur. Orang-orang pada umumnya hanya tahu Ir. Mario Viegas Carrascalao. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan ilmuwan, di tahun 1861 pernah mencatat kondisi kota Dili sebagai pusat administrasi Timor Portugis : "Tempat paling miskin bahkan dibandingkan kota-kota termiskin di Hindia Belanda sekalipun. Tak ada tanda-tanda orang bercocok tanam atau peradaban di sekitarnya." Bisa dikatakan nasib bangsa Indonesia ketika dijajah Belanda lebih beruntung walaupun yang namanya penjajahan selalu tidak enak.

Pemberlakuan pemberian finta (upeti) kepada pemerintah kolonial Portugis menimbulkan kebencian di antara para liurai (raja setempat) dan pernah timbul perlawanan pada tahun 1710. Pemberontakan tahun 1710 ini memaksa orang-orang Portugis memindahkan pusat administrasi kolonialnya dari Lifau ke Dili untuk seterusnya sampai orang-orang Portugis hengkang dari bumi Lorosae pada tahun 1975. Pada tahun 1859, gubernur Timor Portugis Afonso de Castro membuat kebijakan tanam paksa yakni tanaman untuk diekspor khususnya kopi. Kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini menimbulkan perlawanan terhadap penjajah Portugis yang dipimpin oleh para liurai pada tahun 1861. Sistem kerja paksa kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jose Celestino da Silva dalam bentuk pembangunan jalan. Di tahun 1908, Gubernur da Silva juga mengganti finta dengan pajak kepala.

Perlawanan liurai yang terbesar dan terakhir adalah perlawanan yang dipimpin oleh Dom Boaventura (liurai Manufahi). Dom Boaventura melanjutkan perlawanan ayahnya, Dom Duarte, yang dipaksa menyerah di tahun 1900. Ia mulai mengadakan perlawanan di tahun 1911. Pemerintah kolonial Portugis mengerahkan pasukan pribumi Timor Portugis ditambah pasukan yang didatangkan dari Afrika Timur Portugis (sekarang Mozambik). Perlawanan berhasil ditumpas pada tahun 1912. Diperkirakan 25 ribu orang tewas selama kampanye militer menumpas perlawanan Dom Boaventura. Sang liurai ditangkap dan diasingkan ke Pulau Atauro sampai akhir hidupnya. Kemudian pemerintah Timor Portugis memberikan kewenangan langsung kepada suco (desa) sebagai pemerintahan lokal. Dengan demikian, kekuasaan dan pengaruh para liurai menjadi kecil dan penjajah Portugis dapat mengontrol secara langsung hingga ke pedalaman.

Dom Boaventura dari Manufahi

Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur : APODETI, FRETILIN, UDT, TRABALHISTA, KOTA. UDT (Uniao Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Dua partai kecil lainnya, KOTA (Klibur Oan Timor Aswain) menginginkan pemerintahan tradisional yang fokus pada kepemimpinan liurai sedangkan TRABALHISTA yang didukung oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali. Secara garis besar, dua partai kecil ini sejalan dengan cita-cita APODETI.

Kerusuhan dan pertumpahan darah merebak ke seluruh bumi Lorosae. Dari sisi kekuatan senjata, FRETILIN merupakan fraksi yang terkuat sebab mendapat dukungan dari pasukan pribumi militer Timor Portugis. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat baik terhadap pasukan UDT maupun pasukan APODETI. UDT akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tujuan utamanya memertahankan Timor Timur berada di bawah Portugal dan bersatu dengan APODETI untuk menghadapi FRETILIN. FRETILIN telah membantai puluhan ribu rakyat yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia termasuk beberapa tokoh APODETI. Gubernur Timor Portugis waktu itu (gubernur terakhir), Mario Lemos Pires, yang seharusnya bertanggung jawab memulihkan ketertiban dan keamanan justru mengevakuasi sebagian besar pasukan Portugis ke Pulau Atauro dan membiarkan koloni Portugal tersebut dalam kekacauan.

Pasukan FRETILIN di tahun 1975

FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memroklamirkan kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975. APODETI, UDT, TRABALHISTA, dan KOTA segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari NKRI. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araujo (ketua APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (ketua UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari perbatasan NTT, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya. Tak lama kemudian, TNI datang dan membebaskan Timor Timur dari kebiadaban FRETILIN. Upaya pembebasan itu dikenal dengan nama Operasi Seroja.

Masa Integrasi dengan Indonesia
Gabungan partai yang pro integrasi membentuk PSTT (Pemerintahan Sementara Timor Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araujo sebagai gubernur pertama serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai wakil gubernur. Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya UU no. 7 tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik karena provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda, Timor Timur merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal. Presiden Soeharto menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang".

Berbagai infrastruktur mulai dibangun di provinsi termuda itu, mulai dari jalan beraspal hingga bandara. Bangunan sekolah mulai dari tingkat SD hingga universitas dibangun di Timor Timur. Bandara Komoro (sekarang Bandara Nicolau Lobato) dibangun di Dili sehingga berbagai pesawat dapat mendarat dan terbang ke dan dari Timor Timur. Banyak subsidi dari dana APBN dicurahkan untuk memajukan provinsi termuda ini. GNP per kapita Timor Timur sebesar $1500 semasa integrasi. Presiden Soeharto juga memerintahkan pembangunan patung Kristus Raja yang menjadi ikon pariwisata Timor Timur dan simbol toleransi terhadap umat Katolik. Patung itu menjadi patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia setelah di Rio de Janeiro. Adalah suatu hal yang unik jika salah satu negara mayoritas Muslim terbesar memiliki patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia. Almarhum presiden kedua kita juga memerintahkan pendirian Monumen Integrasi berbentuk liurai dengan borgol yang terputus di kedua tangan untuk memeringati perjuangan heroik rakyat Timor Timur dari penjajahan Portugis hingga bersatu dengan Indonesia.

Patung Kristus Raja

Monumen Integrasi

Para transmigran berdatangan untuk menggerakkan roda perekonomian Timor Timur. Para guru dan dokter didatangkan sehingga tingkat kesehatan dan pendidikan rakyat Timor Timur meningkat dengan cepat dibanding masa kolonial Portugis. Penggunaan bahasa Portugis dihapuskan dan diganti bahasa Indonesia untuk mengintegrasikan masyarakat Timor Timur dengan masyarakat Indonesia lainnya. Namun masyarakat Timor Timur tidak begitu terkejut dengan penggunaan bahasa Indonesia berkat jasa-jasa para tokoh APODETI yang dahulu memromosikan bahasa Indonesia ke masyarakat Timor Timur. Tidak sedikit putra-putri Timor Timur yang melanjutkan studi hingga ke Pulau Jawa khususnya di Yogyakarta. Walaupun pihak separatis terus "menggonggong" menuduh TNI melakukan pembantaian terhadap orang-orang Timor Timur, ternyata ada banyak putra asli Timor Timur yang turut mengabdi menjadi prajurit TNI.

Namun PBB tidak pernah mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Setelah mencairnya Perang Dingin, Amerika Serikat dan Australia yang dahulu mendukung Indonesia untuk segera menyatukan Timor Timur kini menjegal Indonesia dengan berbalik menuduh Indonesia telah menduduki Timor Timur dan melakukan pelanggaran HAM berat. Suatu tindakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia. Australia dan Portugal membantu perjuangan diplomasi FRETILIN dan CNRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorense, partai pecahan FRETILIN) sedangkan Indonesia harus berjuang sendiri. Untungnya ada beberapa negara mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia yaitu negara-negara ASEAN, Argentina, Arab Saudi, Irak, dll. Mengapa Australia dengan begitu munafik mendukung kemerdekaan Timor Timur? Karena Australia ingin menguasai ladang minyak di Celah Timor (Timor Gap). Australia dahulu mendukung proses integrasi Timor Timur ke Indonesia hanya karena takut bahaya komunis akan mencapai garis depan Australia jika Timor Leste merdeka sebab FRETILIN beraliran komunis.

Gerakan separatis semakin kuat dan kekacauan terjadi di seluruh Timor Timur. Untuk itu, ABRI segera membentuk berbagai kelompok milisi pro integrasi yang terdiri dari putra-putra asli Timor Timur. Nama-nama kelompok milisi yang dibentuk : Gadapaksi (Garda muda penegak integrasi), BMP (Besi Merah Putih), Saka, Sera, Mahidi (Mati hidup dengan Indonesia), Makikit, Halilintar, dll. Komando tertinggi kelompok-kelompok milisi tersebut berada di tangan Joao da Silva Tavares selaku panglima PPI (Pejuang Pro Integrasi). Para milisi siap menyerang pemberontak FALINTIL (Forcas Armadas da Libertacao Nacional de Timor Leste, sayap militer CNRT) dan para pendukung kemerdekaan dan menghancurkan tempat-tempat yang dianggap milik para pendukung kemerdekaan demi memertahankan integrasi. Salah satu aksi para milisi yakni mengepung dan menghancurkan rumah seorang tokoh CNRT, Manuel Viegas Carrascalao, sebab selama ini rumah tersebut dipakai untuk menampung 124 pendukung kemerdekaan. Di satu sisi, para pendukung kemerdekaan juga melakukan hal yang sama kepada para pendukung integrasi. Monumen Pancasila di Vikeke tidak luput menjadi salah satu sasaran pengrusakan kelompok pro kemerdekaan. Banyak warga sipil yang mengungsi ke perbatasan NTT untuk menghindari kekerasan yang terjadi di Timor Timur.

Milisi Besi Merah Putih (BMP)

Reruntuhan gedung koramil dan polsek di Metinaro yang dihancurkan kelompok pro kemerdekaan

Setelah rezim Orde Baru jatuh, tahun 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum. Referendum tersebut berada di bawah tanggung jawab UNAMET (United Nations Mission in East Timor) dan dipenuhi dengan berbagai kecurangan. Perekrutan local staff diambil hanya dari orang-orang yang pro kemerdekaan atau yang akan memilih opsi merdeka. Sebagian besar lokasi TPS terletak di dekat pemukiman masyarakat pro kemerdekaan. Para orangtua dan saudara yang memiliki anak atau saudara anggota milisi pro integrasi dilarang memilih. Banyak orangtua yang dipaksa bahkan diancam untuk memilih opsi merdeka. Tanggal 5 Agustus 1999 di Bobonaro, salah seorang anggota UNAMET yang bertugas menerima pendaftaran berkata : "Kedatangan UNAMET hanya untuk bekerjasama dengan FALINTIL, bukan dengan Indonesia." Akibat dari ucapan ini, sempat terjadi keributan dengan pihak pro integrasi. Pernah juga terjadi kejadian di mana beberapa petugas Palang Merah asal Australia ditangkap karena membawa kartu referendum yang opsi merdeka telah dilubangi. Hasilnya 79% memilih merdeka, 21% memilih tetap bersatu dengan otonomi luas. Pertikaian kembali pecah pasca referendum karena para pendukung integrasi merasa kesal atas kecurangan yang terjadi selama referendum. Bagaimanapun Indonesia dengan terpaksa harus mengakui hasil referendum tersebut.

Masa Disintegrasi dari Indonesia
Timor Timur berada di bawah PBB hingga tahun 2002. Tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur resmi diakui kemerdekaannya secara internasional. Timor Timur menjadi sebuah negara dengan nama "Republik Demokratik Timor Leste". Kay Rala Xanana Gusmao menjadi presiden pertama dan Mari Bin Amude Alkatiri menjadi perdana menteri pertama negara itu setelah melepaskan diri dari NKRI tahun 2002.

Walaupun telah merdeka, rakyat Timor Leste tetap hidup dalam kemiskinan bahkan semakin melarat. GNP per kapita yang awalnya $1500 turun drastis menjadi $300. Penggunaan dolar AS sebagai mata uang Timor Leste menyebabkan standar hidup menjadi tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Australia akhirnya berhasil memeroleh keinginannya, ladang minyak Celah Timor. Berdasarkan perjanjian, 80% hasil dari ladang minyak tersebut untuk Australia dan hanya 20% untuk Timor Leste. Harga BBM di Timor Leste sangat mahal sehingga tidak jarang mobil-mobil orang Timor Leste "minum" premium bersubsidi di Timor Barat padahal mereka tidak pantas mendapatkan itu sebab mereka bukan lagi warga negara Indonesia.

Pemerintah Timor Leste menerapkan bahasa Portugis dan bahasa Tetum sebagai bahasa nasional tetapi bahasa Portugis yang lebih diutamakan. Dengan begitu, pemerintah Timor Leste telah "sukses" memundurkan Timor Leste hingga 30 tahun ke belakang. Dalam semalam rakyat Timor Leste menjadi buta bahasa karena pada faktanya hanya kurang dari 3% dari seluruh penduduk Timor Leste yang fasih menggunakan bahasa Portugis. Sebagian besar yang bisa berbahasa Portugis berasal dari generasi tua. Mayoritas penduduk Timor Leste justru fasih berbahasa Indonesia karena selama 24 tahun mereka hidup bersatu dengan Indonesia.

Akibat dari kebijakan bahasa itu, wajah pendidikan Timor Leste turut menjadi bobrok. Sekolah diliburkan selama sembilan bulan hanya untuk memberi kursus bahasa Portugis kepada para guru Timor Leste. Pemerintah juga menawarkan kepada para pelajar beasiswa untuk melanjutkan studi di Portugal. Hasilnya banyak di antara mereka yang gagal dalam studi. Mereka hanya mendapat pelatihan bahasa Portugis selama lima bulan sebelum berangkat ke Portugal. Untuk ujian saringannya saja menggunakan bahasa Indonesia.

Pertikaian antar etnis juga sering terjadi. Pada tanggal 8 Februari 2006, lebih dari 400 pasukan Timor Leste etnis Loro Monu melakukan aksi mogok sebagai aksi protes karena merasa didiskriminasi. Pemerintah memecat sebanyak 594 pasukan etnis Loro Monu. Para prajurit desertir di bawah Mayor Alfredo Alves Reinado segera melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Kerusuhan juga terjadi di seluruh penjuru Timor Leste. Ratusan bangunan dibakar dan dijarah, sementara 20 orang dilaporkan tewas dalam pertikaian antara etnis Loro Monu dan Loro Sa'e. Pemerintah Dili tidak dapat mengendalikan pemberontakan tersebut hingga meminta bantuan militer Australia, Portugal, Selandia Baru dan Malaysia tetapi hanya tentara Australia yang datang.

Pasukan PBB pun akhirnya turun tangan menjaga keamanan dan ketertiban di Timor Leste. Tanggal 29 Mei 2006, ratusan orang berdemonstrasi di luar istana presiden sambil meneriakkan yel-yel anti PM Mari Alkatiri karena pemerintahannya dianggap gagal. Di hari yang sama, sebuah gudang pangan milik pemerintah di lain tempat turut dijarah. Pada tanggal 11 Februari 2008, Presiden Jose Manuel Ramos Horta nyaris terbunuh oleh tembakan anak buah Mayor Alfredo Reinado, Amaro da Costa. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya keamanan di Timor Leste. Mayor Alfredo Reinado sendiri tewas beberapa hari kemudian. Tugas pasukan PBB di Timor Leste berakhir pada bulan Desember 2012 dan keamanan dan ketertiban kembali diserahkan kepada pemerintah Timor Leste.

Pasukan Australia di Timor Leste

Bagaimanapun masa terindah atau masa kejayaan Timor Timur bukan pada saat merdeka tetapi pada saat integrasi dengan Indonesia. Mungkin ada banyak orang Timor Leste yang kini tengah merindukan masa-masa integrasi di mana mereka bisa hidup sejahtera. Akankah mereka suatu saat kembali bersatu dengan Ibu Pertiwi? Semoga.