Gereja Sebagai Komunitas Perdamaian

Selama saya menempuh kuliah di semester 4 dan 5, saya dan beberapa kawan kampus saya ikut semacam KTB bersama Pak AJ, pendiri sebuah komunitas perdamaian lintas agama. Walau mereka menyandang istilah "komunitas", saya lebih suka menyebutnya memakai istilah "organisasi" karena kata ini bersifat lebih umum dan pada faktanya "komunitas" tersebut bersifat sangat sentralistik. Seperti biasa, pembicaraan di dalam KTB selalu seputar Amanat Agung. Namun ada pernyataan menarik dari Pak AJ mengenai gereja yang ingin saya bahas di sini. Beliau pernah berkata : "Kalau Yesus masih ada bersama dengan kita hari ini, dia pasti bakal menyuruh jemaatnya 'keluar, keluar!'" Muncul pertanyaan di benak saya : "Kalau kita semua disuruh keluar dari gereja untuk memberitakan Injil, lantas siapa yang menggembalakan kawanan domba ini? Bukankah tetap perlu ada orang Kristen yang melayani di dalam gereja?" Kawan saya, RY, mengatakan ketidaksetujuannya terhadap beliau. Ia memiliki pemikiran bahwa seseorang yang baru saja percaya kepada Yesus sebaiknya diarahkan untuk masuk ke dalam gereja tetapi gereja mana yang dia masuki itu terserah kepada orang tersebut. Saya setuju dengan pemikirannya ini.

Saat saya berada di semester 5, saya hampir setiap hari Minggu ikut berjualan pakaian bekas di depan Masjid Agung Surabaya bersama kawan-kawan organisasi lintas agama saya. Kami berjualan untuk mendanai acara International Day of Peace dan Student Interfaith Peace Camp. Suatu kali saya menyeletuk bicara ke ketua cabang provinsi Jawa Timur saat itu : "Bang, ini hari Minggu lho. Kita gak ke gereja, Bang? Padahal teman-teman yang Muslim pada shalat lho." Saya bicara seperti itu pada saat itu dengan maksud bercanda, tidak serius. Lalu beliau menjawab : "Bergereja itu bisa di mana saja, Dek." Beberapa bulan kemudian, saya diundang untuk "berjamaah" dengan beliau. Tentu saja saya tertarik karena penasaran. Dalam pertemuan yang kedua atau ketiga, saya agak lupa, pak IP berkata : "Kita mulai sekarang akan mengadakan jamaah tiap minggu karena kawan-kawan Muslim kita mungkin selama ini melihat kita terkesan kurang rohani." Namun saya ikut berjamaah hanya beberapa kali karena seiring berjalannya waktu saya merasa tidak nyaman.

Menurut saya, "gereja" jamaah ini tidak ada bedanya dengan persekutuan. Saya beri tanda kurung karena saya meragukan apakah itu dapat disebut sebagai gereja. Jumlah jemaatnya sedikit dan dapat dilakukan mana saja tetapi biasanya dilakukan di rumah. Kami di sana tidak membaca Alkitab terjemahan LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) melainkan Kitab Suci Taurat dan Kitab Suci Injil. Selesai membaca KST atau KSI, kami akan mencari ayat tentang Allah, ayat tentang Isa (kalau ada), ayat tentang manusia, dan yang terakhir kami disuruh memikirkan komitmen selama seminggu ke depan. Sungguh membosankan! Di dalam jamaah tersebut, Pak IP maupun Pak AJ tetap lebih sering menggunakan nama Isa daripada nama Yesus. Selain itu, Pak AJ dan Pak IP juga menganggap perjamuan kudus bersifat kontekstual. Roti dan anggur dalam perjamuan kudus dapat diganti dengan nasi pecel dan es teh manis dengan alasan kita tinggal di Indonesia sedangkan Yesus dan para muridnya tinggal di daerah Timur Tengah. Sungguh tidak Alkitabiah!

Kitab Suci Taurat dan Kitab Suci Injil

Karena saya merasa tidak nyaman karena beliau berulang kali seperti memaksa saya untuk ikut berjamaah, saya akhirnya berkata terus terang mengapa saya tidak tertarik lagi untuk ikut berjamaah. Jawaban yang saya dapat pun tidak mengenakkan. Pak IP menjawab : "Kalau ibadah yang kamu maksudkan untuk jadi Kristen hydrocephalus, memang, pada umumnya gereja gedung menawarkannya. Tapi gereja organik atau gereja original ya menekankan kepada ketaatan." Mereka minta jamaah dianggap sebagai gereja tetapi mereka sendiri tidak segan-segan menghina gereja lainnya. Mereka merasa jamaah adalah "gereja" yang asli dan menekankan pada ketaatan. Padahal mereka sendiri bikin jamaah didasari rasa takut dianggap kurang rohani oleh teman-teman Muslim, bukan didasari kerinduan untuk bersekutu dengan Tuhan dan saudara-saudara seiman. Menghargai perbedaan yang mereka ajarkan selama ini dalam peace camp (camp pengkaderan organisasi lintas agama milik Pak AJ dan Pak IP) ternyata tidak berlaku terhadap orang Kristen.

Bukti pernyataan Pak IP yang mengatakan gereja gedung menawarkan orang Kristen menjadi Kristen hydrocephalus

Orang Kristen membutuhkan gereja dan jamaah menurut saya bukan gereja. Gereja adalah "kandang domba" Anda entah apapun gereja Anda. Kalau Anda merasa kurang nyaman dengan istilah "kandang domba", dalam perumpamaan lainnya, gereja adalah "benteng" yang melindungi kita dari serangan musuh. Musuh hingga hari ini terus berupaya menghancurkan "benteng-benteng Kristen" bahkan semakin mendekati akhir zaman serangan musuh semakin gencar. Kita bisa melihat sendiri Eropa yang dulu dikenal kental dengan Kekristenan kini sudah banyak "benteng Kristen" di Eropa yang "hancur". Jika kita mengikuti perkataan Pak AJ di atas, apa jadinya Kekristenan? Satu per satu dari orang Kristen akan menghilang dan menjadi sasaran empuk si jahat. Padahal Alkitab memperumpamakan Yesus sebagai gembala yang meninggalkan domba-dombanya di kandang demi mencari domba yang masih hilang untuk dibawa pulang masuk ke dalam kandang. Ini ada domba entah dari mana malah menyuruh kita semua keluar dari kandang!

Saat ini saya sudah dikeluarkan dari organisasi lintas agama dan kontak saya sudah di-block oleh Pak AJ dan Pak IP. Tentu saja pada awalnya saya merasa sedih kehilangan banyak teman karena mengatakan kebenaran secara terang-terangan. Akan tetapi, saya justru merasakan damai sejahtera setelah meninggalkan "gereja" jamaah dan komunitas perdamaian yang penuh kemunafikan. Saat ini saya berjemaat di sebuah gereja kharismatik. Selama hampir dua tahun saya di gereja kharismatik, saya tidak pernah mendengar satu pun kata hinaan terhadap gereja lain yang keluar dari mulut pastur-pastur saya ketika berkhotbah. Saya merasa miris melihat ketua BEM saya yang memutuskan meninggalkan gereja karena termakan omongan manis para pengikut Isa tentang "Amanat Agung". Gereja yang ditinggalkannya adalah gereja di mana saya bertumbuh sekarang ini. Ironis memang. Dulu saya mengeluhkan betapa susahnya mencari mahasiswa Kristen untuk ikut peace camp. Sekarang saya justru bersyukur karena Tuhan ternyata selama ini melindungi saudara-saudara seiman saya dari penyesatan para pengikut Isa.

Berbeda dengan kawan-kawan kita yang beragama Islam, mereka justru dengan cepat membanjiri kuota peace camp dan itu terjadi setiap kali organisasi lintas agama tersebut mengadakan peace camp. Mengapa bisa begitu? Karena sebagian besar dari antara mereka tidak memiliki apa yang disebut sebagai "komunitas". Gereja-gereja sekarang pada umumnya memiliki komunitas yang biasa disebut "kelompok sel". Di gereja saya, mulai dari anak kecil sampai lanjut usia didorong untuk masuk ke dalam komsel. Walaupun ada gereja-gereja yang tidak memiliki kelompok sel, setidaknya mereka masih memiliki persekutuan dan kelompok pelayanan. Masjid bukan sebuah komunitas. Masjid dapat dikatakan seperti tempat pertemuan. Beberapa organisasi Islam kini mulai menaruh perhatian kepada generasi muda sehingga mulai memberikan wadah komunitas di dalam organisasi. Mereka yang sudah aktif di sana cenderung malas ikut komunitas perdamaian karena sudah sibuk dengan segala aktivitas di dalam organisasi. Saya punya kawan Muslim dari Gerakan Pemuda Ansor dan dia tidak pernah terlibat dengan organisasi lintas agama saya. Saya juga punya kawan dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dulu ikut peace camp tetapi tidak mau lanjut di sana dan kemudian memilih aktif di IMM. Saya melihat dua kawan saya ini justru punya pemikiran yang jauh lebih terbuka dibandingkan anak-anak yang masih aktif di organisasi lintas agama yang pernah saya ikuti.

Bersyukurlah Anda yang hingga hari ini masih ada di dalam kehidupan gereja! Anda tidak perlu ikut "komunitas perdamaian" seperti yang pernah saya ikuti untuk belajar nilai-nilai perdamaian. Anda dapat belajar nilai perdamaian setiap hari Minggu di gereja Anda masing-masing. Jumlah nilai perdamaian ada banyak, tidak hanya ada 12 nilai seperti yang diajarkan oleh "komunitas" tersebut. Tidak ada gunanya membicarakan perdamaian, mengajarkan nilai-nilai perdamaian, apalagi sampai bikin camp perdamaian tiga hari dua malam. Perdamaian yang sejati tidak akan pernah terjadi jika nilai-nilai perdamaian tidak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Di gereja, Anda bisa bercerita kepada pemimpin komsel atau teman komsel Anda tetapi di "komunitas perdamaian" yang pernah saya ikuti, Anda tidak bisa bercerita kepada teman komunitas Anda jika ada masalah. Mereka tidak segan-segan mengadukan omongan Anda ke pimpinan dan mereka akan membela mati-matian pemimpin mereka meskipun sudah jelas-jelas salah. Saya sangat mendukung orang Kristen untuk melakukan penginjilan. Akan tetapi, jangan berpikir untuk meninggalkan gereja dengan alasan mengajak orang lain mengenal Tuhan melainkan ajaklah mereka untuk masuk ke dalam gereja dan ajarlah mereka di dalam gereja sebab gereja Anda adalah komunitas perdamaian Anda karena Yesus sebagai pemimpin komunitas Anda adalah sang Raja Damai.