Zely Ariane : Teroris Wanita yang Mengatasnamakan HAM

Zely Ariane, koordinator kelompok teroris NAPAS

Masih hafalkah Anda kelima sila Pancasila? Masih setiakah Anda terhadap ideologi Pancasila? Pada masa Reformasi ini, kesaktian Pancasila sungguh-sungguh sedang diuji. P4 (Penataran, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) sebagai tombak terdepan dalam program indoktrinasi negara akan ideologi Pancasila justru telah dihapuskan dari kurikulum pendidikan. Bahkan mungkin kata "indoktrinasi" yang saya pakai di kalimat sebelumnya dipersepsikan secara negatif oleh sebagian pembaca.

Zely Ariane, koordinator NAPAS (National Papua Solidarity), melalui blognya menulis artikel yang berjudul "Penegakan HAM Papua vs NKRI Harga Mati". (Baca lebih lanjut : http://infonapas.blogspot.com/2013/06/penegakan-ham-papua-vs-nkri-harga-mati.html">http://infonapas.blogspot.com/2013/06/penegakan-ham-papua-vs-nkri-harga-mati.html) Artikel aktivis HAM ini sungguh melecehkan doktrin "NKRI harga mati" dan dapat menciptakan kemarahan dari orang-orang Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Itulah alasannya kenapa saya menyebut Zely Ariane sebagai seorang teroris. Ia memang tidak memegang senjata. Akan tetapi, ia berusaha menghancurkan negara ini dengan HAM. Saya akan melampirkan kutipan-kutipan dari artikel tersebut tiap paragraf. Agar mudah dibedakan dan enak dibaca, kutipan dari artikel Zely Ariane saya tulis cetak miring.

Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannyapun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok paramiliter seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih, dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.

Zely Ariane melalui tulisan ini sungguh melecehkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia. Di mata wanita ini, masyarakat Indonesia enggan melakukan aksi bela negara dan hanya militer Indonesia yang bersedia membela negara. Kemudian orang-orang yang punya rasa nasionalisme dan tergabung dalam kelompok Pemuda Pancasila atau Pemuda Panca Marga adalah orang-orang jahat yang suka menyebar ancaman. Bicara The Act of Killing, bukankah orang-orang PKI dulu juga sering menginjak-injak Alquran dan meneriakkan yel-yel "Ganyang sorban!", "Ganyang santri!", dan lain-lain? Apakah orang-orang PKI yang telah melecehkan agama orang lain ini harus dibiarkan saja? Drs. Arukat Djaswadi, ketua Front Anti Komunis Indonesia, menjelaskan bahwa seharusnya yang menjadi tersangka itu justru PKI karena pelaku pelanggaran HAM berat itu awalnya dari sikap makar PKI sedangkan rakyat dan bangsa hanya melakukan pembelaan diri. Beliau yang juga direktur CICS (Centre Indonesia for Community Study) ini menganggap bahwa orang-orang PKI kini sedang menunggangi Komnas HAM untuk "memutihkan" sejarah mereka dan memaksa ormas-ormas lain seperti Pemuda Pancasila dan Gerakan Pemuda Ansor meminta maaf kepada mereka. Lalu bukankah OPM sendiri yang selama ini dibela Zely Ariane dan kawan-kawan juga sering mengancam orang-orang Papua yang dianggap pro NKRI? Lantas di manakah keadilan untuk orang-orang Papua yang masih setia dengan NKRI ini?

Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiripun sama sekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.

Zely Ariane melalui tulisan ini jelas terlihat buta sejarah. NKRI harga mati adalah doktrin yang sudah ada sejak Indonesia merdeka. Buktinya RIS (Republik Indonesia Serikat) belum genap satu tahun usianya sudah bubar. Sebagian besar masyarakat dari semua negara bagian RIS ingin bersatu dalam naungan NKRI meskipun ada beberapa pemberontakan yang terjadi karena menentang proses peleburan negara-negara bagian bikinan kolonial Belanda ini. Pemberontakan-pemberontakan itupun didalangi oleh KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Kalimat "bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya" menunjukkan bahwa ia tidak paham apa itu Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda sendiri sebenarnya adalah embrio dari doktrin "NKRI harga mati". Sumpah Pemuda adalah sumpah yang diikrarkan para pemuda dari seluruh penjuru Hindia Belanda bahwa mereka mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sumpah adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh dibuat mainan bahkan banyak orang rela mati demi menjaga sebuah sumpah. Para leluhur kita dulu rela datang jauh-jauh dari berbagai daerah hanya demi merumuskan Sumpah Pemuda. Kalau sekarang kita sebagai generasi muda membiarkan negara kita tercinta Indonesia terpecah belah, generasi muda macam apa kita ini?

Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada di hadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.

Papua sudah menjadi Indonesia sejak dulu. Jadi sebenarnya tidak ada istilah "gagal meng-Indonesia-kan Papua". Secara historis, Papua pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, hingga Kesultanan Tidore. Papua sebagai bagian dari Indonesia kembali dikonfirmasi secara nasional dengan adanya beberapa wakil pemuda asal Papua saat peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928. Kemudian dikonfirmasi kembali secara internasional melalui PEPERA tahun 1969 dan disetujui dalam Sidang Umum PBB ke-24 dengan disahkannya Resolusi PBB no. 2504. Pemerintah pusat bukannya tidak peduli terhadap masyarakat di Papua tetapi banyak pejabat daerah di Papua yang korupsi. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya dana yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membangun Papua. TNI dan POLRI dari dulu hingga hari ini juga masih terus menghimbau orang-orang yang berseberangan secara ideologi untuk segera "bertobat" tanpa menggunakan senjata. Namun jika para separatis berbuat aksi kriminal, sudah sewajarnya TNI maupun POLRI menindak tegas mereka. Di balik konflik yang terjadi di Papua, banyak anggota TNI yang ikut berpartisipasi dalam dunia pendidikan dan kesehatan di Papua. Pemerintah Indonesia tidak menstigma orang-orang Papua sebagai separatis, buktinya sejak zaman Orde Baru selalu ada menteri orang asli Papua dan setiap upacara bendera ketika Hari Kemerdekaan di Istana Merdeka selalu ada wakil paskibraka dari Papua dan Papua Barat. Malah saya sering kali menemui orang-orang yang simpatik terhadap OPM yang mengatakan bahwa semua orang Papua adalah OPM. Nah sekarang siapa yang bikin stigma terhadap orang-orang Papua?

Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan : "Bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta sehingga Indonesia akan jadi bubar." Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.

Apalah artinya menghafal Pancasila dan UUD 1945 tetapi tidak memahami isinya? Tentu Zely Ariane tahu apa sila ketiga Pancasila. Namun ia tidak memahami bahkan cenderung ingin menghapuskan sila ketiga. Jadi yang dikatakan oleh pihak Front Pemuda Merah Putih bahwa KontraS pro separatisme memang benar adanya. Maka dari itu, tepatlah jika KontraS dan NAPAS disebut sebagai kelompok teroris yang mengatasnamakan HAM. Bahkan KontraS dan NAPAS dapat dikatakan lebih berbahaya daripada Jemaah Islamiyah, NII (Negara Islam Indonesia), atau Laskar Jihad sebab mereka terlihat innocent dan lebih bersifat persuasif dalam mendoktrin ideologi humanisme radikal kepada masyarakat Indonesia untuk melawan negara.

Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya : gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.

Walaupun gaji mereka rendah, mereka memiliki semangat yang berkobar-kobar menjaga tanah air. Itulah yang seharusnya kita apresiasi dari para prajurit TNI kita. Cara berpikir wanita ini selalu diukur dengan materi. Memang dasar cewek matre! Saya sendiri menulis artikel ini tidak dibayar dan tidak ada yang memberi saya penghargaan. Saya menulis artikel ini karena saya tidak suka negara saya dilecehkan oleh para aktivis HAM pengkhianat negara ini. Sekarang apa kontribusi Zely Ariane terhadap negara ini selain menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia dan TNI?

NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki : kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

Saya sebagai penulis turut mendukung penegakan HAM di Indonesia. Akan tetapi, saya tidak setuju dengan pembelaan atas nama HAM secara membabi buta. Zely Ariane, Poengky Indarti, dan Haris Azhar adalah orang-orang humanis garis keras. Mereka rela mengorbankan kedaulatan bangsa demi kelompok tertentu. Penegakan HAM harus sesuai dengan Pancasila. Para teroris ini ingin menyingkirkan sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Doktrin "NKRI harga mati" adalah bagian dari sila ketiga Pancasila. Landasan berbangsa dan bernegara kita adalah Pancasila, bukan kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial versi Zely Ariane. Maka dari itu, omongan Zely Ariane bahwa doktrin "NKRI harga mati" adalah doktrin Orde Baru adalah omongan sampah yang tidak berdasar.